Waktu menghadiri LGBT anonymous - hehehe, bukan deng, tapi hanya salah satu acara LGBT yang mengadakan nonton film Milk - seorang pembicaranya berkata, "Saya ini agnostik". FYI, acara diadakan di Gereja Kristen Indonesia.
Pernyataan sang pembicara mengingatkan kepada para ateis dadakan yang waktu dulu sempat jadi trend di antara teman-teman saya yang saya yakin bahwa mereka menjadi ateis bukan karena landasan teori hasil kontemplasi, melainkan hanya ikutan, biar keren enggak punya Tuhan, atau biar disangka pintar, biar disangka pemikir atau calon filsuf.
Memangnya untuk jadi seorang pemikir atau filsuf, harus ateis dulu?
Mungkin lebih tepatnya itu skeptis. Bagi saya skeptis itu wajar. Manusia memiliki indera yang ditakdirkan untuk melihat benda konkrit. Benda abstrak hanya bisa dilihat melalui keyakinan dan pemahaman. Bertanya tentang apa yang menjadi agamanya itu wajar - apalagi agama sudah didogma pada manusia sedari kecil, oleh karena itu saya pernah meragukan ajaran agama saya dan saya bertanya kepada orang-orang. Namun sayang reaksi yang diterima tidak sesuai dengan apa yang diharapkan. Saya langsung di-judge tidak boleh ragu, dipandang sebelah mata oleh kakak kelas agamis dengan jawabannya, "Kenapa harus bertanya tentang Tuhan sih? Kenapa kamu tidak ikuti skenarionya saja?". Itu melarang hak manusia untuk berpikir, namanya.
Saya, yang sedari kecil sudah diberi agama Islam dan tidak diberi kesempatan untuk memilih agama, bertanya apakah perasaan takut pada Tuhan memang berasal dari keyakinan saya atau dari didikan yang sudah membudaya? Lalu bagaimana jika agama itu ternyata tidak ada, sengaja dibuat untuk mengendalikan hidup manusia yang kelewat bebas?
Pertama kali saya belajar filsafat, banyak tanggapan bahwa filsafat itu membuat orang ateis. Setelah membaca, ternyata beberapa tokoh seperti Nietzsche, Camus, Sartre, dan lainnya itu ateis. Karena saya berada di ranah psikologi, mari kita melihat sisi ateis melalui Sigmund Freud.
Freud melihat agama itu infantil, seperti anak kecil yang ingin menyelesaikan masalah nyata dengan wishful thinking. Manusia jadi mengharapkan keselamatan secara pasif dari Tuhan daripada mencari jalan untuk mengusahakannya sendiri dan mengembangkan potensinya. Manusia jadi mengharapkan sebuah penyelamat yang memang tidak pernah ada. Parahnya, ini dialami oleh semua orang, sehingga Freud menyebutnya dengan neurosis kolektif. Neurosis adalah dasar teori Freud. Neurosis terjadi apabila orang bereaksi tidak adekuat atas suatu pengalaman yang amat emosional. Misalnya seorang perempuan yang dengan sengaja menghilangkan ingatan akibat pemerkosaan yang pernah dialaminya. Tanpa ia sadari, konflik emosional itu dimunculkan melalui perilaku yang seperti tidak ada hubungannya. Misalnya perilaku obsesif kompulsif - terus-terusan mencuci tangan dan lainnya.
Akur dengan Nietzsche yang berpendapat bahwa agama hanyalah belenggu "manusia super", Freud beranggapan agama menggagalkan kemungkinan manusia untuk mengembangkan diri dan untuk mencapai tingkat kebahagiaan yang sebenarnya dapat saja tercapai.
Terlihat, kan, bedanya yang mana skeptis dan ateis. Apalagi ateis nge-trend.
Andai saya bertemu dengan kakak kelas saya, mungkin saya akan menjelaskan bahwa dalam agama, terdapat dimensi intelektual. Bukan untuk merasionalkan agama (karena yang rasional namanya science) tetapi untuk bertanya tentang apa yang dianutnya. Bagi saya, totalitas orang beragama bukan hanya menganut apa yang diturunkan orang tua, tetapi mendalaminya dengan pertanyaan. Dan bagi saya, kebenaran yang hakiki adalah kebenaran yang berasal dari keraguan.
(Nia)
Pernyataan sang pembicara mengingatkan kepada para ateis dadakan yang waktu dulu sempat jadi trend di antara teman-teman saya yang saya yakin bahwa mereka menjadi ateis bukan karena landasan teori hasil kontemplasi, melainkan hanya ikutan, biar keren enggak punya Tuhan, atau biar disangka pintar, biar disangka pemikir atau calon filsuf.
Memangnya untuk jadi seorang pemikir atau filsuf, harus ateis dulu?
Mungkin lebih tepatnya itu skeptis. Bagi saya skeptis itu wajar. Manusia memiliki indera yang ditakdirkan untuk melihat benda konkrit. Benda abstrak hanya bisa dilihat melalui keyakinan dan pemahaman. Bertanya tentang apa yang menjadi agamanya itu wajar - apalagi agama sudah didogma pada manusia sedari kecil, oleh karena itu saya pernah meragukan ajaran agama saya dan saya bertanya kepada orang-orang. Namun sayang reaksi yang diterima tidak sesuai dengan apa yang diharapkan. Saya langsung di-judge tidak boleh ragu, dipandang sebelah mata oleh kakak kelas agamis dengan jawabannya, "Kenapa harus bertanya tentang Tuhan sih? Kenapa kamu tidak ikuti skenarionya saja?". Itu melarang hak manusia untuk berpikir, namanya.
Saya, yang sedari kecil sudah diberi agama Islam dan tidak diberi kesempatan untuk memilih agama, bertanya apakah perasaan takut pada Tuhan memang berasal dari keyakinan saya atau dari didikan yang sudah membudaya? Lalu bagaimana jika agama itu ternyata tidak ada, sengaja dibuat untuk mengendalikan hidup manusia yang kelewat bebas?
Pertama kali saya belajar filsafat, banyak tanggapan bahwa filsafat itu membuat orang ateis. Setelah membaca, ternyata beberapa tokoh seperti Nietzsche, Camus, Sartre, dan lainnya itu ateis. Karena saya berada di ranah psikologi, mari kita melihat sisi ateis melalui Sigmund Freud.
Freud melihat agama itu infantil, seperti anak kecil yang ingin menyelesaikan masalah nyata dengan wishful thinking. Manusia jadi mengharapkan keselamatan secara pasif dari Tuhan daripada mencari jalan untuk mengusahakannya sendiri dan mengembangkan potensinya. Manusia jadi mengharapkan sebuah penyelamat yang memang tidak pernah ada. Parahnya, ini dialami oleh semua orang, sehingga Freud menyebutnya dengan neurosis kolektif. Neurosis adalah dasar teori Freud. Neurosis terjadi apabila orang bereaksi tidak adekuat atas suatu pengalaman yang amat emosional. Misalnya seorang perempuan yang dengan sengaja menghilangkan ingatan akibat pemerkosaan yang pernah dialaminya. Tanpa ia sadari, konflik emosional itu dimunculkan melalui perilaku yang seperti tidak ada hubungannya. Misalnya perilaku obsesif kompulsif - terus-terusan mencuci tangan dan lainnya.
Akur dengan Nietzsche yang berpendapat bahwa agama hanyalah belenggu "manusia super", Freud beranggapan agama menggagalkan kemungkinan manusia untuk mengembangkan diri dan untuk mencapai tingkat kebahagiaan yang sebenarnya dapat saja tercapai.
Terlihat, kan, bedanya yang mana skeptis dan ateis. Apalagi ateis nge-trend.
Andai saya bertemu dengan kakak kelas saya, mungkin saya akan menjelaskan bahwa dalam agama, terdapat dimensi intelektual. Bukan untuk merasionalkan agama (karena yang rasional namanya science) tetapi untuk bertanya tentang apa yang dianutnya. Bagi saya, totalitas orang beragama bukan hanya menganut apa yang diturunkan orang tua, tetapi mendalaminya dengan pertanyaan. Dan bagi saya, kebenaran yang hakiki adalah kebenaran yang berasal dari keraguan.
(Nia)
1 April 2009 pukul 08.46
waduh rumit juga pembahasannya. Tapi ada baiknya, membahasnya jangan dilihat dari kacamata org psikolog. Gak semua orang ngerti khan?
Bgm kalau juga diterjemahkan ke bhs awam, sehingga ilmu yang dimiliki bisa dishare juga dengan teman teman lain.
sekedar masukan ... oke??
1 April 2009 pukul 23.00
Jangan dibahas dari orang psikolog dan diterjemahkan ke bahasa awam?
Begini pertimbangannya:
1. Ini adalah blog yang memuat artikel psikologi. Jadi kalau dilihat dari kacamata teologi atau filsafat itu kejauhan.
2. Setahu saya, tidak bisa diterjemahkan ke bahasa awam karena ini ilmu, bukan bahasa asing. Kalau semua ilmu diterjemahkan ke bahasa awam, wah.. orang kedokteran pasti kerja keras tuh.
Semoga dipahami.
4 April 2009 pukul 04.21
Yang jelas, pernyataan bahwa ateisme dan agnostisisme mempunyai kesan "keren" atau pintar bagi ybs, buat saya terasa seperti kacang goreng garing.
Maksudnya, tidak semua orang harus terjun menjadi ateis usai mempelajari filsafat. Saya yang sedang kuliah filsafat juga demikian.
Toh, bukankah para calon pasotr Katolik di seluruh dunia HARUS belajar filsafat dulu sebelum teologi? Jadi pernyataan "belajar filsafat menjerumuskan seseorang ke dalam ateisme" adalah tidak valid dengan sendirinya.
Memang ada filsuf yang ateis, tetapi tidak semua filsuf adalah ateis, kan? contohnya Thomas Aquinas (dan hampir seluruh filsuf abad pertengahan), Kant, Gabriel Marcel, Levinas, dll..
Lagi pula, pernahkah kamu menyadari:
Skeptisisme adalah kontradiksi pada dirinya?
Mengatakan bahwa "Yang ada hanya ketidakpastian" mengindikasikan bahwa pernyataan tersebut bersifat pasti, bukan?
Kalau semua serba tidak pasti, boleh dong saya tidak percaya pada pernyatan bahwa "Segala sesuatu itu tidak pasti". Dengan kata lain, saya menganggap skeptisisme itu sendiri tidak pasti juga!
Demikian....
4 April 2009 pukul 20.42
Bahasa yang digunakan Mba Nia cukup awam kok di tulisan ini.. Mungkin bagi orang awam membutuhkan sedikit waktu dan konsentrasi untuk membacanya, atau bahkan untuk mengerti perlu dua atau tiga kali dalam membaca.. :) [ga semua orang psikologi juga langsung mengerti tulisan psikologi hanya dengan sekali baca kok,, tenang aja]
Ini bukan masalah blog psikologi atau apapun, tapi semua penulis memang seharusnya mengeluarkan isi pikirannya dengan bahasa mudah sehingga semua orang bisa mengerti tulisannya.. :) Dan yang dilakukan Mba Nia cukup dimengerti dengan memberikan arti2 kata psikologis yang digunakan misalnya skeptis dan neurosis.. :)
Tambahan quote Freud yang diambil dari 'The Atheist Bible' (yang mau ebooknya imel aja):
"Religion is an illusion and it derives its strength from its
readiness to fit in with our instinctual wishful impulses."
—Sigmund Freud
"We shall tell ourselves that it would be very nice if there
were a God who created the world and was a benevolent
Providence, and if there were a moral order in the uni-
verse and an after-life; but it is a very striking fact that
all this is exactly as we are bound to wish it to be"
—Sigmund Freud
"The religions of mankind must be classed among the
mass-delusions of this kind. No one, needless to say,
who shares a delusion ever recognizes it as such"
—Sigmund Freud
4 April 2009 pukul 20.47
@ Hireka Eric:
"Skeptisisme adalah kontradiksi pada dirinya?"
:)
Betul sekali. Kemudian hal yang harus diperhatikan lebih lanjut adalah apakah kita mampu untuk jujur kepada diri sendiri dengan selalu mempertanyakan 'kesimpulan' yang telah kita dapatkan? Apakah kita cukup berani untuk meng-kontra argumenkan pola pikir kita yang sudah terbentuk sedemikian lama (seperti agama)?
Dan... Apakah kita berani untuk meninggalkan hal tersebut kalau ternyata pola-pikir-berkepanjangan itu tidak cukup kuat untuk dipertahankan? :P
5 April 2009 pukul 17.14
Ra, gue mau dong ebook-nya :D :D
21 Mei 2009 pukul 03.14
salam kenal dan salam ateis dari saya. kunjungi blog saya di www.wong2ateis.wordpress.com
18 Juli 2009 pukul 23.27
Ternyata ada pembahasan ateis juga di sini. ;)
http://lovepassword.blogspot.com/2009/07/ateis-menjawab-gambit-pascal.html