Dua tahun lalu dunia dikejutkan oleh ‘kenyataan yang tidak mengeenakkan’ oleh mantan wakil presiden Amerika Serikat yang juga seorang ilmuwan bernama Al Gore. Ia mengatakan bahwa bumi sekarang sedang menderita ’penyakit’ yang disebut pemanasan global (atau nge’trend dengan sebutan global warming).
Kampanye global warming ini bisa dikatakan sangat berhasil karena semenjak film dan buku ’An Inconvenient Truth’ beredar, semakin banyak orang yang sadar akan pentingnya menjaga bumi dari eksploitasi manusia.
Istilah global warming memang baru nge-boom akhir-akhir ini, begitu juga dengan gerakan ’stop global warming’ yang menjamur, namun ternyata keprihatinan terhadap lingkungan hidup telah lama dikumandangkan oleh para ilmuwan dari berbagai bidang ilmu, salah satunya adalah psikologi.
Tahun 1992 misalnya, Theodore Roszak dalam bukunya The Voice of Earth memperkenalkan gerakan ecopsychology,
”At its deepest level, psychology is the search for sanity. And sanity at its deepest level is the health of the soul. In this respect, psychology, whatever techniques it may use, is necessarily a philosophical pursuit…at some point, the healthy animals we once were..lost that primal sanity and grew up to become the bad mothers and fathers who made all the bad institutions.
Within the framework of an echopsychology, we raise the question: how did a psyche that was once symbiotically rooted in the planetary ecosystem produce the environmental crisis we now confront?”
Mengapa manusia seakan mengambil jarak dengan lingkungan? Menganggap hubungan dengan bumi bersifat eksploitatif dan bukan mutualis?
Freud adalah salah satu kontributor yang memberikan pandangan modern terhadap hal ini. Freud mengatakan bahwa alam adalah seperti ketidaksadaran id yang dimiliki manusia – liar, sulit dijinakkan, perlu dibimbing, dikendalikan, sehingga sumber dayanya terus menerus tersedia bagi kita, dan jangan biarkan ia (id / alam) yang menaklukkan kita. Pandangan ini sangatlah memprihatinkan. Dalam bukunya Civilization and Its Discontent, Freud menambahkan:
”Tugas dari sebuah peradaban adalah ’kita’ melawan alam. Tidak ada seorang pun yang terlepas dari ilusi bahwa sebenarnya bumi telah kalah!”
Pandangan lain juga dikemukakan Freud mengenai hubungan manusia-alam (kayanya bagi Freud, belum afdol klo belum ada esek-esek-nya haha). Dalam perspectifnya ini, hubungan dengan alam disejajarkan dengan hubungan sexual manusia,
”Man asserts and initiates, thrusts out, explores and embraces ’Mother Nature’ while the earth receives, responds, and (re)produce.
Sekejam itukah manusia? Seburuk itukah hubungan manusia dengan alam?
Ya. Suka tidak suka memang itulah yang selama ini ras manusia, kita, lakukan terhadap bumi. Kita menggunakan defense mechanism sebagai pembenaran dan menyelimuti nafsu egoistik terhadap bumi dengan topeng menjijikan, serta menyembunyikan kenyataan dari diri kita sendiri (bahwa bumi sedang sekarat), semata-mata hanya untuk meredakan kecemasan kita.
Kita melakukan:
Dan masih banyak lagi pembenaran diri yang kita lakukan ketika menyakiti bumi! Wah-wah, ternyata kesemuanya sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari!
Bumi yang kita lihat sekarang adalah layar proyeksi besar dari ketidaksadaran manusia yang eksploitatif dan ’jahat’ (Lihat tulisan sebelumnya yang berjudul ’Why Prejudice’ mengenai ketidaksadaran manusia dan tingkah laku unfavorable). Untuk mengubah kenyataan ini, nampaknya manusia harus terlebih dahulu berdamai dengan ketidaksadarannya sendiri. Berusaha menjadi lebih reflektif dan lebih peka terhadap tingkah laku kita.
Memang bukanlah hal yang mudah, karena defense mechanism diatas telah terbentuk bertahun-tahun dalam diri setiap manusia, bahkan beribu-ribu tahun jika membicarakan hubungan ras manusia-alam. Sebelum semuanya terlambat, perubahan harus dilakukan sekarang! So?
”Open your eyes. Barely see our dying Mother Earth. Change our attitude, and let’s start a brand new healthy relationship with her.”
(Lora)
Sumber:
Roszak, Theodore. (1992). The Voice of Earth. New York: Simon & Schuster
Sneep, John. (2007). Ecopsychology: An Introduction and Christian Critique. Journal of Psychology and Christianity 26; 2:166-175
(Gambar diambil dari www.solcomhouse.com)
Kampanye global warming ini bisa dikatakan sangat berhasil karena semenjak film dan buku ’An Inconvenient Truth’ beredar, semakin banyak orang yang sadar akan pentingnya menjaga bumi dari eksploitasi manusia.
Istilah global warming memang baru nge-boom akhir-akhir ini, begitu juga dengan gerakan ’stop global warming’ yang menjamur, namun ternyata keprihatinan terhadap lingkungan hidup telah lama dikumandangkan oleh para ilmuwan dari berbagai bidang ilmu, salah satunya adalah psikologi.
Tahun 1992 misalnya, Theodore Roszak dalam bukunya The Voice of Earth memperkenalkan gerakan ecopsychology,
”At its deepest level, psychology is the search for sanity. And sanity at its deepest level is the health of the soul. In this respect, psychology, whatever techniques it may use, is necessarily a philosophical pursuit…at some point, the healthy animals we once were..lost that primal sanity and grew up to become the bad mothers and fathers who made all the bad institutions.
Within the framework of an echopsychology, we raise the question: how did a psyche that was once symbiotically rooted in the planetary ecosystem produce the environmental crisis we now confront?”
Mengapa manusia seakan mengambil jarak dengan lingkungan? Menganggap hubungan dengan bumi bersifat eksploitatif dan bukan mutualis?
Freud adalah salah satu kontributor yang memberikan pandangan modern terhadap hal ini. Freud mengatakan bahwa alam adalah seperti ketidaksadaran id yang dimiliki manusia – liar, sulit dijinakkan, perlu dibimbing, dikendalikan, sehingga sumber dayanya terus menerus tersedia bagi kita, dan jangan biarkan ia (id / alam) yang menaklukkan kita. Pandangan ini sangatlah memprihatinkan. Dalam bukunya Civilization and Its Discontent, Freud menambahkan:
”Tugas dari sebuah peradaban adalah ’kita’ melawan alam. Tidak ada seorang pun yang terlepas dari ilusi bahwa sebenarnya bumi telah kalah!”
Pandangan lain juga dikemukakan Freud mengenai hubungan manusia-alam (kayanya bagi Freud, belum afdol klo belum ada esek-esek-nya haha). Dalam perspectifnya ini, hubungan dengan alam disejajarkan dengan hubungan sexual manusia,
”Man asserts and initiates, thrusts out, explores and embraces ’Mother Nature’ while the earth receives, responds, and (re)produce.
Sekejam itukah manusia? Seburuk itukah hubungan manusia dengan alam?
Ya. Suka tidak suka memang itulah yang selama ini ras manusia, kita, lakukan terhadap bumi. Kita menggunakan defense mechanism sebagai pembenaran dan menyelimuti nafsu egoistik terhadap bumi dengan topeng menjijikan, serta menyembunyikan kenyataan dari diri kita sendiri (bahwa bumi sedang sekarat), semata-mata hanya untuk meredakan kecemasan kita.
Kita melakukan:
- Denial, ketika tingkah laku tidak-bersahabat terhadap lingkungan muncul (kita membenarkan tindakan kita dengan cara sarkasme, avoidance, ataupun humor), misalnya ’toh ada yang bersihin klo gue buang sampah sembarangan, lagipula gue bayar uang kebersihan!’
- Rasionalisasi, ketika konsumsi berlebihan kita meyakinkan diri, misalnya dengan mengatakan bahwa ’kota besar memang membutuhkan konsumsi energi yang besar, jakarta panass wajar dunk AC gue terus nyala.’
- Supresi untuk menghilangkan kesadaran dan rasa bersalah kita mengenai pembuangan karbon dioksida (Aku jadi ingat ketika dulu aku masih remaja dan mengingatkan orang tuaku bahwa pembuangan mobil kami – Panther Diesel – waktu itu sangatlah kotor, mereka serta merta lansung memarahi aku tanpa rasa bersalah dan tanpa kesadaran bahwa we actually are responsible).
- Displacement kebiasaan untuk mendaur ulang dibandingkan dengan mengurangi konsumsi (yang memang lebih sulit), misalnya ’tidak masalah menggunakan kertas, karena pada akhirnya akan didaur ulang kok – padahal hanya mencoba mencari mudahnya saja’
- Proyeksi dengan mengatakan apa yang dianggap baik oleh pemerintah, developer, dsb (padahal kegiatan merusak bumi, yang menguntungkan untuk kita), juga baik bagi kita, ’pemerintah masih memperbolehkan penggunaan stereoform kok’
- Sublimasi dengan memberikan donasi jor-jor an, menulis tulisan indah ’stop global warming’, dsb tanpa benar-benar mengubah gaya hidup dan tingkah laku kita terhadap alam!
Dan masih banyak lagi pembenaran diri yang kita lakukan ketika menyakiti bumi! Wah-wah, ternyata kesemuanya sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari!
Bumi yang kita lihat sekarang adalah layar proyeksi besar dari ketidaksadaran manusia yang eksploitatif dan ’jahat’ (Lihat tulisan sebelumnya yang berjudul ’Why Prejudice’ mengenai ketidaksadaran manusia dan tingkah laku unfavorable). Untuk mengubah kenyataan ini, nampaknya manusia harus terlebih dahulu berdamai dengan ketidaksadarannya sendiri. Berusaha menjadi lebih reflektif dan lebih peka terhadap tingkah laku kita.
Memang bukanlah hal yang mudah, karena defense mechanism diatas telah terbentuk bertahun-tahun dalam diri setiap manusia, bahkan beribu-ribu tahun jika membicarakan hubungan ras manusia-alam. Sebelum semuanya terlambat, perubahan harus dilakukan sekarang! So?
”Open your eyes. Barely see our dying Mother Earth. Change our attitude, and let’s start a brand new healthy relationship with her.”
(Lora)
Sumber:
Roszak, Theodore. (1992). The Voice of Earth. New York: Simon & Schuster
Sneep, John. (2007). Ecopsychology: An Introduction and Christian Critique. Journal of Psychology and Christianity 26; 2:166-175
(Gambar diambil dari www.solcomhouse.com)
14 September 2008 pukul 09.33
nicely done, lora! suka gw tulisan lo yang ini.. cuma kayanya contoh denialnya gw belom nangkep bener.. hmmh,,
sama untuk endingnya, emang style lo banget yah.. gw blm baca pengarangnya, tapi pas liat paragraf terakhirnya, ketauan gitu kalo yang nulis elo.. hehe.
-pane
15 September 2008 pukul 17.09
Padahal alam tidak usah mempersenjatai diri. Hanya dengan setitik air dan sehembus angin, manusia bisa mati.
27 September 2008 pukul 11.15
gw menganggap alam sbg komoditas yg bisa dibeli, jd ya alam sama aj kya baju, mkanan, dll. klo gw bli makanan pasti gw bayar lbih dari modal awal, ga mungkin orang jualan ayam goreng yg harganya 7000 klo modalnya lbih dari 7000 kan? gitu juga hrsnya kita ke alam, kita make SDA tp kita juga harus "BAYAR" ke alam lebih dari yang kita pake.. anggep aj alam sama kaya ayam goreng, klo kita bayar lebih kan alamnya juga untung dan tetep bisa ada (pastinya bayarnya nga sama kaya bayar ayam ^^), kan klo gtu jadinya simbiosis mutualisme dan mnurut gw itu bru bisa dibilang rasional.. jakarta sbg kota besar wajar aja klo lbih bny make SDA, tapi ya jakartanya juga harus bayar lbh banyak ke alam dibanding kota-kota lain dan yang bayar ya warga yang make tentunya (kita semua).. klo kita nebang 5 pohon ya berarti minimal kita harus nanem 6 pohon dan itu yang (mnurut gw lho) sebenernya harus kita lakuin skrg..
-tio-