Senin malam, saya nonton film Milk di Gereja Kristen Indonesia (GKI). Film Milk - yang aktor utamanya, Sean Penn, mendapatkan penghargaan aktor terbaik di Oscar - menceritakan tentang seorang tokoh Harvey Milk sebagai orang aktivis yang berjuang untuk mendapatkan persamaan hak kaum homoseksual. Tidak hanya bercerita tentang karirnya saja, tapi film ini menceritakan tentang kehidupan pribadi seorang Harvey Milk.
Harvey Milk (Sean Penn) adalah seseorang pekerja New York yang pada usia 40, ia memutuskan untuk out of closet (membuka diri mengenai status homoseksual), pindah ke San Fransisco pada tahun 1972 bersama pacarnya yang bernama Scott Smith (James Franco), dan membuka bisnis. Semula membuat komunitas kemudian menjadi kandidat politik untuk San Francisco City Supervisior pada tahun 1977. Ia menjadi gay pertama yang mengikuti pemilihan umum di California.
Untuk mencapai kursi pemerintahan tentu tidak mudah karena Harvey Milk harus melewati pandangan miring mengenai homoseksual dari masyarakat dan terutama para saingannya, salah satunya Dan White. Digambarkan diskriminasi pada tahun 1977 bahwa homoseksual di-satu-kluster-kan dengan prostitusi, sering clash dengan polisi, dan sulit mendapatkan pekerjaan. Dengan dukungan dari teman-temannya dan kepiawaiannya berpidato, Harvey Milk mendapat simpati banyak orang.
Saya menonton film ini bersama Q-munity. Q-munity adalah komunitas untuk orang-orang yang concern dengan masalah LGBT. Setelah menonton film ini, dua perwakilan dari Q-munity yang bernama Egi dan Fitri menjelaskan secara singkat tentang sejarah terbentuknya pergerakan homoseksual di Amerika dan mengajak peserta festival film untuk berdiskusi mengenai film dan tema homoseksual itu sendiri.
Seorang perempuan bertanya masalah sensitif mengenai pandangan agama yang menganggap homoseksual itu sebuah dosa. Fitri menjawab, " Saya jadi ingat ketika teman saya meluncurkan sebuah buku tentang homoseksual. Ada seorang laki-laki yang sangat tidak setuju dengan homoseksual di negara yang mayoritas muslim ini. Lantas moderator dari peluncuran buku tersebut menjawab, 'Jika mayoritas negara ini adalah muslim, maka kami adalah muslim'". Saya menyimpulkan bahwa mereka ingin dianggap sama seperti mayoritas dan tidak ingin dinilai berdasarkan agama. Simpulan saya di dalam hati ditanggapi oleh salah seorang peserta yang menurut saya bijak dengan berkata, "Semua manusia itu mulia di mata Tuhan dan konsep baik dan buruk disebabkan oleh pandangan orang lain. Apalagi manusia, secara psikologis, terlahir biseksual.". Kemudian saya menyimpulkan lagi, manusia tidak memiliki hak untuk menilai berdosa atau tidaknya seseorang.
Lalu ada orang lain yang bertanya, "Saya menganggap kalian biasa saja seperti orang lain, tapi mereka kalian membentuk sebuah komunitas yang seolah-olah menguatkan identitas kalian?"
Saya percaya bahwa seseorang yang dilahirkan berbeda dengan orang lain (cacat secara mental atau fisik) atau mengalami sesuatu yang membuat mereka berbeda dengan orang lain (HIV/AIDS, misalnya) akan memiliki tahapan psikologis. Semula seseorang bisa merasa takut, mengucilkan diri, membuka diri secara terbatas, dan mencari orang lain yang senasib dengannya untuk berbagi rasa, pengenalan, mendapat kepercayaan, dan mendapatkan dukungan sosial. Tidak usah jauh-jauh ke kecacatan atau penyakit deh, misalnya seseorang memiliki hobi yang sama dengan orang lain, mereka akan membentuk suatu komunitas. Jadi, menurut saya, tanpa harus menjadi cacat, harus HIV/AIDS, bahkan homoseksual pun, manusia akan berkelompok atau membentuk komunitas.
Saya cukup takjub mendengar GKI memutar fim Milk dan mengundang komunitas LGBT. Bagi saya, walaupun buka skala nasional, itu adalah sebuah kemajuan bahwa seseorang yang memiliki nilai-nilai agama yang kuat pun mau menerima orang lain yang berbeda dengannya. Saya bukan menolak atau mengiyakan LGBT. Bagi saya yang terbaik adalah seseorang nyaman dengan dirinya dan tidak mengganggu diri sendiri dan orang lain. Itu sudah cukup.
"If it were true that children mimicked their teachers, you'd sure have a hell of a lot more nuns running around" - Harvey Milk -
(Nia)
24 Februari 2009 pukul 08.32
Salam kenal, anda duduk dimana, waktu nonton Milk? :)
24 Februari 2009 pukul 20.50
Wah saya nggak ngerti psikologi, tapi kalau memang itu dianggap bawaan, kenapa kegiatannya secara atraktif justru melegalkan bahkan kesannya mengajak... kenapa para psikolog nggak mampu mengobati penyimpangan ini??
26 Februari 2009 pukul 05.06
'Mengobati'?? Hahahahaha...
Emang homoseksual itu penyakit?
Aku rasa psikolog masih memiliki tugas lain yang lebih penting daripada 'memaksa' seseorang untuk tidak mencintai orang lain -- walaupun mencintai sesama jenis.. :)
Aku rasa sih bukan melegalkan, apalagi mengajak! Aduh, kata-katanya bermuatan 'menilai-benar-salah' sekali.. :) Acara seperti ini mungkin untuk menyadarkan dan mensosialisasikan kenyataan bahwa perbedaan itu ADA, dan perbedaan itu adalah berkah (aku ingat seorang ibu Muslim berjilbab mengatakan ini kepadaku). Tanpa bermaksud menilai atau apapun, tapi 'menyembuhkan' seorang gay adalah seperti:
'Memaksa seseorang bertangan kidal untuk menggunakan tangan kanan-nya'.
(Diambil dari majalah Scientific Magazine -- kalo mau ebooknya bisa email saya)
27 Februari 2009 pukul 00.14
@Bang Mupi: Saya duduk paling depan :)
@Big Sugeng: Saya setuju dengan Laura. Homoseksual bukanlah penyakit. Saya pernah baca, memang ada terapi bernama terapi reparatif untuk, seperti kata mas, mengobati orientasi seksual seseorang. Tapi terapi ini tidak ada publikasi ilmiah mengenai keberhasilannya.
Lalu apa fungsi psikolog? Saya pikir psikolog sangat berperan untuk membantu "efek samping" homoseksual seperti depresi, merasa rendah diri, dan lainnya akibat diskriminasi.
Saya punya beberapa teman yang homoseksual dan mereka tidak pernah mengajak. Jika ada seseorang homoseksual yang mengaku bahwa ia diajak orang lain, bisa jadi itu hanya trigger-nya saja. Padahal, jauh di dalamnya, terdapat bawaan biologis atau konflik psikologis dari masa lalu.
9 Maret 2009 pukul 06.59
LGBTIQ..
Lesbian Gay Biseksual Transexual/Transgender Interseksual Queer..
Tuhan menciptakan segala perbedaan untuk mengasah kita menjadi manusia yang lebih baik,manusia yang mampu menerima dan memahami segala sesuatu yang ada..
nah,PR besar psikolog dan juga kita semua adalah membantu Tuhan mewujudkan harapannya:>
matur nuwun.