Agama dan juga kepercayaan barat maupun timur telah mencoba memberikan jalan keluar bagi mereka yang takut mati dan kesakitan ketika kehilangan orang yang disayang. Agama menawarkan kehidupan setelah kematian, suatu kelahiran kembali, serta tawaran transenden lain untuk membantu seseorang ‘lega’ atau setidaknya mengurangi rasa takutnya.
Aku punya 2 orang kenalan yang paling cocok dalam menjelaskan rasa takut ini.
-Seorang wanita lanjut usia yang cukup aktif beribadah sekali dalam seminggu, yah bisa dikategorikan sebagai ‘melek tuhan’lah. Namun ia sangat takut sakit, setiap bulannya bisa menghabiskan jutaan rupiah hanya untuk pengobatan. Wanita ini secara berkala memimpikan ibunya (yang sudah meninggal) memberikan pesan bahwa ‘belum waktunya ia meninggal’.
-Wanita setengah baya yang tiba-tiba saja jatuh sakit, tidak bisa bernafas (lupa istilah medisnya apa). Ketika diperiksa sama sekali tidak ditemukan sebab, kemungkinan merupakan peristiwa psikologis. Setelah diusut ternyata gejala pertama kali dialami ketika binatang kesayangannya meninggal. Binatang kesayangannya yang selama beberapa bulan terakhir telah sulit untuk makan dan berjalan (karena terlalu tua), wanita ini selalu menyuapinya sebagai wujud sayang. Oh ya wanita ini juga sangat rajin beribadah dan aktif dalam kegiatan keagamaan, seminggu minimal 3 kali!
Apa yang sebenarnya terjadi pada kedua orang ini? Mereka berdua memiliki kesamaan ‘takut akan kematian’. Wanita pertama takut mati sehingga ia berusaha segiat mungkin untuk tidak sakit, setiap ada gejala sedikit langsung berobat ke dokter, dan mimpinya menjadi alat untuk ‘menghibur’ keinginannya untuk tetap hidup. Wanita kedua setelah merawat binatang peliharaannya yang sudah tua mulai membayangkan dirinya saat dia sudah tua nanti, tidak bisa jalan, hanya bisa makan makanan halus, dan siapakah yang akan merawatnya. Ia takut, panik dan tidak bisa bernafas.
Saya tidak tahu, apa agama telah gagal menyokong seseorang untuk menghadapi kematian, atau hanya kebetulan saja dalam kasus kedua wanita itu. Well, kita kan tidak boleh langsung menggeneralisasi. ;)
Buddha menjelaskan kita akar dari penderitaan manusia. Begitu juga mitos klasik dari Yunani. Mungkin beberapa dari kita familiar dengan cerita Kronos yang memakan anak-anaknya. Berikut ceritanya:
“Kronos mengambil tahta tertinggi dewa-dewa ketika membunuh ayahnya sendiri (Uranus), ketakutan akan hal yang sama terjadi pada dirinya (dibunuh oleh anaknya sendiri untuk merebut tahta) maka ia memakan anak-anaknya ketika mereka lahir. Sampai pada suatu hari ketika Rhea, istrinya, melahirkan Zeus ditengah malam, Rhea langsung menitipkan Zeus kepada ibunya (Gaia) kemudian membiarkan Kronos memakan batu sebagai gantinya. Akhirnya Kronos memuntahkan kelima anaknya.”
Mitologi ini mengingatkan kita bahwa kematian merupakan sumber dari penderitaan. Bagaimana tidak? Karena takut mati, Kronos jadi parno ga jelas, hidup dalam perasaan was-was setiap harinya. Kronos disebut juga ‘waktu’ (seperti Shiva dalam mitologi Hindu). Bagaimanapun juga waktu akan ‘memakan’ semua orang, sampai akhirnya ‘batu kebijaksanaan’ tertelan sehingga manusia bisa kembali ‘hidup’. Batu kebijaksanaan merupakan apa yang diyakini sebagai kebijaksanaan yang diperlukan seseorang manusia untuk memahami eksistensinya, yang berarti ada hidup begitu juga ada mati. :)
(Lora)
6 Februari 2009 pukul 00.15
hha..masa sih..
gw termasuk orang kedua tuh..
eh jurnal psikologi yang banyak dimana yah?
8 Februari 2009 pukul 16.26
Saya tidak sependapat bahwa agama telah gagal, soalnya sample nya cuma 2 kasus. Saya malah lebih yakin bahwa kehidupan sekitar kita yang lebih dominan mengarah ke kasus tsb. Conto: bagaimana iklan produk kecantikan??? Akhirnya orang cenderung pingin dikatakan selalu muda? Ujungnya takut tua takut mati dong...
(maaf saya nggak belajar psikologi)
salam kenal yaa
8 Februari 2009 pukul 17.10
Nambah cerita yaa:
Alkisah ada seorang yang didatangi malaikat maut untuk dicabut nyawanya. Orang tersebut protes ke malaikat: "hai malaikat maut, kenapa engkau dtang begitu mendadak dan tiba-tiba? Mestinya jangan langsung cabut begitu dong... ada peringatan kek, sukur-sukur ada surat pemberitahuanlebih dulu, saya kan bisa siap-siap".
Jawab malaikat: " siapa bilang tidak pernah ada peringatan, waktu umur 40 tahun, pandanganmu sudah mulai kabur, makanya kamu pakai kacamata plus 1, waktu umur 50 tahun nambah jadi plus 2; rambutmu sudah ada yang putih (malah di cat), gigimu sudah ada yang tanggal, berbagai penyakit telah datang kepadamu, engkau juga mulai monopause (khusus wanita), kulitmu sudah mulai keriput, langkahmu sudah terseok-seok. Semua itu adalah peringatan, tapi engkau malah bersikap menutup-nutupi"
manusia: ???!!! ....
11 Februari 2009 pukul 01.48
@ Big Sugeng:
Makasih yah comment dan ceritanya.Salam kenal juga.
Betul sekali, budaya sekitar kita dominan mengarah pada kasus ‘menolak’ kematian. Budaya itu bermula dari pikiran, iklan juga tidak akan meng-create embel2 ‘muda selamanya’ kalo pasar tidak menginginkannya, kan? Nah peran media disini adalah sebagai panggangan yang memanasi ketakutan dan penolakan manusia untuk mati – yang sebelumnya pun telah berakar pada umat manusia.
Nah soal agama, sebenarnya agama itu tugasnya menyiapkan manusia untuk mati, dengan dogma2 mengenai kehidupan setelah kematian, surga-neraka, penghakiman terakhir, api penyucian, tuhan yang adil, dll. Tapi terkadang pesannya itu tidak sampai.Orang kemudian lebih menekankan pada perasaan takut dibandingkan lega.Gemetar dibandingkan kagum.
Tapi bukan berarti tidak ada orang-orang yang tidak bisa mengambil hikmah positif dari agama loh.Misalnya salah seorang yang saya kenal, sudah tua sekitar 70 tahunan dan sangat religius.Ia selalu mengucapkan ‘alhamdullilah’. Sepertinya ia telah menyiapkan kematiannya dengan baik, sebagai penyatuan akhirnya dengan Sang Pencipta. :)
Semoga saja semakin banyak orang yang dapat mengambil hikmah dari agama, dan bukan di’sesat’kan olehnya. :) Tetap baca yah. Aku sedang menulis mengenai ‘peran agama’ dan psikoanalisa;)
9 Maret 2009 pukul 05.58
wow saya suka tulisan anda.setau saya (apa saya belum nemu ya?hehe..)jarang sekali ada yang membahas kematian dari sudut pandang psikologis.
saya sendiri sangat tertarik dengan kematian dan rencananya skripsi saya tentang itu.
tapi susah cari referensinya..jd kaya orang stres yang ga jelas..haha..
ah sudahlah yang penting keep going..
lho malah curhat to??hehe..
yang jelas, manusia takut pada kematian karena manusia punya keinginan yang kuat untuk hidup abadi.munculnya agama merupakan representasi dari ketakutan itu..hidup setelah mati,kehidupan yang abadi setelah mati..bukankah itu sangat jelas sekali bahwa manusia tidak ingin eksistensinya berakhir?
tantangan untuk manusia adalah gimana sih caranya untuk memahami dan menerima kematian dan memasrahkan eksistensinya kepada sesuatu yang lebih besar atau sesuatu yang kita sendiri tidak tahu seperti apa?
akar permasalahannya mungkin terletak pada ketakutan manusia untuk kehilangan..
terima kasih ya tulisannya.saya tunggu tulisan berikutnya.
mungkin ke depannya kita bisa berbincang-bincang lebih jauh lagi tentang hal ini.
matur nuwun