There cannot be true democracy unless women are given the opportunity to take responsibility for their own lives.”(Hillary Clinton)
Kebebasan menentukan pilihan adalah prinsip utama dalam bangun ideal emansipasi perempuan milik saya pribadi. Secara spesifik, prinsip tersebut saya maksudkan begini : perempuan, sebagaimana halnya pria, selayaknya mempunyai kebebasan untuk menentukan pilihan-pilihan hidupnya. Baiknya, perempuan tidak hanya menjadi bentuk “degradasi laki-laki” yang dianggap tidak mampu membuat keputusan untuk menentukan pilihannya, entah karena dinilai terlalu emosional atau tidak rasional. Cermati saja petikan kalimat berikut ini.
Kebebasan menentukan pilihan adalah prinsip utama dalam bangun ideal emansipasi perempuan milik saya pribadi. Secara spesifik, prinsip tersebut saya maksudkan begini : perempuan, sebagaimana halnya pria, selayaknya mempunyai kebebasan untuk menentukan pilihan-pilihan hidupnya. Baiknya, perempuan tidak hanya menjadi bentuk “degradasi laki-laki” yang dianggap tidak mampu membuat keputusan untuk menentukan pilihannya, entah karena dinilai terlalu emosional atau tidak rasional. Cermati saja petikan kalimat berikut ini.
[A few years from now, your sole responsibility will be taking care of your husband and children. You may all be here for an easy A, but the grade that matters the most is the grade he gives you.]
Sementara pria dimanjakan oleh ragam pilihan hidup, hingga awal abad 18, peran utama yang ditegaskan oleh masyarakat kepada perempuan adalah sebagai istri dari seorang pria. Jane Austen (1775-1817) mengangkat permasalahan ini lewat tokoh-tokoh perempuan dalam novelnya. Elizabeth Bennet dalam Pride and Prejudice, Emma Watson dalam Emma, serta Elinor dan Marianne Dashwood dalam Sense and Sensibility memberikan gambaraan permasalahan yang utama, kalau bukan satu-satunya, perempuan saat itu : menemukan laki-laki yang tepat untuk membangun pernikahan yang ideal, di mana bobot ketepatan dan ideal digantungkan pada status kebangsawanan dan finansial. Menurut saya, Austen dengan jeli menyelipkan mimpinya akan kebebasan perempuan dengan mempromosikan cinta sebagai nilai dasar sebuah pernikahan, alih-alih status kebangsawanan dan finansial, dalam tulisannya. Harapnya, perempuan menyadari bahwa menikah adalah sebuah pilihan. Lebih indah dengan hadirnya cinta, lebih bahagia bila itu adalah sebuah pilihan bebas.
Bukankah memang soal kebebasan menentukan pilihan ini yang berulang kali diteriakkan oleh perempuan-perempuan revolusioner kepada dunia? Perjuangan perempuan Amerika di pertengahan abad 18 untuk memperoleh hak suara dalam politik di dunianya menunjukkan keinginan perempuan untuk dilibatkan dalam pengambilan keputusan yang menyangkut hidupnya pula. RA Kartini, disela menjalankan peran sebagai seorang istri dan ibu, menyadari bahwa perempuan juga mempunyai hak, kebebasan untuk memperoleh pendidikan yang layak. Menyadari hal tersebut, ia mengambil kesempatan pendidikan yang dipunyainya dan menciptakan kesempatan yang sama bagi perempuan lainnya : memperjuangkan hak perempuan untuk mendapat pendidikan. Dengan menyadari bahwa kebebasan adalah modal yang dipunyainya, perempuan dapat melihat lebih luas lagi mengenai kesempatan yang tersedia untuknya. Ia dapat menyelami peluang-peluang yang ada, yang tak jarang ia ciptakan sendiri. Bukan semata karena ia harus bebas dari stigma sosial yang ada, melainkan karena itulah tugasnya sebagai manusia!
Sekarang ini, menjadi seorang istri dan ibu memang sudah tidak lagi menjadi pilihan yang wajib diambil oleh setiap perempuan. Perempuan dengan gagahnya telah meruntuhkan sebagian besar tembok kaca yang menghalangi mereka untuk menentukan pilihan hidup mereka sendiri dan berkontribusi pada dunia. Konsekuensinya, perempuan dan dunia harus siap untuk menghargai ragam bentuk pilihan yang digenggam oleh perempuan. Tanpa melecehkan, tanpa merendahkan.
[“Do you think I’ll wake up one morning and regret not being a lawyer?” “Yes, I’m afraid that you will.” “Not as much as I’ll regret not having a family, not being there to raise them. I know exactly what I’m doing and it doesn’t make me any less smart. This must seem terrible to you.” “I didn’t say that. I-“ “Sure you did. You always do. You stand in class and tell us to look beyond the image, but you don’t. To you a housewife is someone who sold her soul to her central hall colonial. She has no depth, no intellect, no interests. You’re the one who said I can do anything I wanted. This is what I want.”]
Saya menantikan hari di mana emansipasi perempuan sungguh terwujud, seperti yang dimimpikan perempuan-perempuan masa lalu yang terkungkung praktik patriarkhi, seperti yang selalu diperjuangkan perempuan-perempuan di pelbagai belahan dunia. Untuk itu, sambil menunggu hari itu tiba, saya akan senantiasa menggunakan kebebasan saya untuk menentukan pilihan hidup saya sendiri. (Gandhi pernah berpesan, ‘Jadilah perubahan yang ingin kau lihat pada dunia’)
Bagaimana dengan Anda? :’)
(Melita Tarisa)
Sementara pria dimanjakan oleh ragam pilihan hidup, hingga awal abad 18, peran utama yang ditegaskan oleh masyarakat kepada perempuan adalah sebagai istri dari seorang pria. Jane Austen (1775-1817) mengangkat permasalahan ini lewat tokoh-tokoh perempuan dalam novelnya. Elizabeth Bennet dalam Pride and Prejudice, Emma Watson dalam Emma, serta Elinor dan Marianne Dashwood dalam Sense and Sensibility memberikan gambaraan permasalahan yang utama, kalau bukan satu-satunya, perempuan saat itu : menemukan laki-laki yang tepat untuk membangun pernikahan yang ideal, di mana bobot ketepatan dan ideal digantungkan pada status kebangsawanan dan finansial. Menurut saya, Austen dengan jeli menyelipkan mimpinya akan kebebasan perempuan dengan mempromosikan cinta sebagai nilai dasar sebuah pernikahan, alih-alih status kebangsawanan dan finansial, dalam tulisannya. Harapnya, perempuan menyadari bahwa menikah adalah sebuah pilihan. Lebih indah dengan hadirnya cinta, lebih bahagia bila itu adalah sebuah pilihan bebas.
Bukankah memang soal kebebasan menentukan pilihan ini yang berulang kali diteriakkan oleh perempuan-perempuan revolusioner kepada dunia? Perjuangan perempuan Amerika di pertengahan abad 18 untuk memperoleh hak suara dalam politik di dunianya menunjukkan keinginan perempuan untuk dilibatkan dalam pengambilan keputusan yang menyangkut hidupnya pula. RA Kartini, disela menjalankan peran sebagai seorang istri dan ibu, menyadari bahwa perempuan juga mempunyai hak, kebebasan untuk memperoleh pendidikan yang layak. Menyadari hal tersebut, ia mengambil kesempatan pendidikan yang dipunyainya dan menciptakan kesempatan yang sama bagi perempuan lainnya : memperjuangkan hak perempuan untuk mendapat pendidikan. Dengan menyadari bahwa kebebasan adalah modal yang dipunyainya, perempuan dapat melihat lebih luas lagi mengenai kesempatan yang tersedia untuknya. Ia dapat menyelami peluang-peluang yang ada, yang tak jarang ia ciptakan sendiri. Bukan semata karena ia harus bebas dari stigma sosial yang ada, melainkan karena itulah tugasnya sebagai manusia!
Sekarang ini, menjadi seorang istri dan ibu memang sudah tidak lagi menjadi pilihan yang wajib diambil oleh setiap perempuan. Perempuan dengan gagahnya telah meruntuhkan sebagian besar tembok kaca yang menghalangi mereka untuk menentukan pilihan hidup mereka sendiri dan berkontribusi pada dunia. Konsekuensinya, perempuan dan dunia harus siap untuk menghargai ragam bentuk pilihan yang digenggam oleh perempuan. Tanpa melecehkan, tanpa merendahkan.
[“Do you think I’ll wake up one morning and regret not being a lawyer?” “Yes, I’m afraid that you will.” “Not as much as I’ll regret not having a family, not being there to raise them. I know exactly what I’m doing and it doesn’t make me any less smart. This must seem terrible to you.” “I didn’t say that. I-“ “Sure you did. You always do. You stand in class and tell us to look beyond the image, but you don’t. To you a housewife is someone who sold her soul to her central hall colonial. She has no depth, no intellect, no interests. You’re the one who said I can do anything I wanted. This is what I want.”]
Saya menantikan hari di mana emansipasi perempuan sungguh terwujud, seperti yang dimimpikan perempuan-perempuan masa lalu yang terkungkung praktik patriarkhi, seperti yang selalu diperjuangkan perempuan-perempuan di pelbagai belahan dunia. Untuk itu, sambil menunggu hari itu tiba, saya akan senantiasa menggunakan kebebasan saya untuk menentukan pilihan hidup saya sendiri. (Gandhi pernah berpesan, ‘Jadilah perubahan yang ingin kau lihat pada dunia’)
Bagaimana dengan Anda? :’)
(Melita Tarisa)
11 Februari 2009 pukul 08.02
jangan meminta buktikan saja