Psikologi Indonesia Goes Blogging

Blog yang berisi mengenai semua hal yang berkaitan dengan Psikologi ini bertujuan untuk memberikan edukasi mengenai Psikologi kepada masyarakat Indonesia dalam bentuk bacaan ringan.

Saya terinspirasi nulis ini karena nonton MTV Switch dimana artis-artis berkampanye untuk mematikan alat yang menggunakan listrik jika tidak perlu karena isu global warming. Saya jadi bertanya, mengapa hanya sedikit orang Indonesia yang berkampanye tentang lingkungan dengan catatan lebih sedikit lagi yang mematikan listrik di siang hari, memisahkan sampah organik dan anorganik, pakai sepeda, dan lainnya?

Pertanyaan jadi melebar ketika nonton Animal Planet dimana ada seorang perempuan yang menghabiskan hampir seluruh hidupnya untuk mengerti bahasa monyet. Mengapa orang Indonesia jarang melakukan suatu penelitian mendalam mengenai hewan atau tumbuhan, malah mereka melakukan kekerasan yang mendalam pada tumbuhan dalam bentuk pembalakan hutan liar atau gelonggong sapi agar mendapat keuntungan? Dalam sastra Indonesia, alam selalu diceritakan sebagai lingkungan yang bersahabat dan memberikan kemakmuran bagi yang tinggal disekitarnya. Tapi itu dalam sastra.

Dari pertanyaan-pertanyaan itu, saya sering mendapat jawaban, "Ya karena manusia Indonesia masih berkutat pada perut. Jangankan memikirkan lingkungan sementara perut aja belum jelas mau diisi apa."

Tidak adil, kenapa orang-orang jadi menyalahkan perut? Kalau benar memang segala permasalahan berasal dari perut, bagi saya ini primitif karena diperbudak oleh nafsu makan. Kalau benar berakar dari perut, Amerika yang notabene negara maju dan tidak perlu dipertanyakan tentang urusan perut pun berkontribusi pada perusakan lingkungan. Saya jadi sanksi kalau ini karena masalah perut.

Pembaca, kira-kira apa sih yang menyebabkan ketidakpedulian manusia Indonesia terhadap lingkungannya?

-Nia-

15 komentar

  1. Khrisnaresa Adytia  

    gue setuju kalo kita hanya memikirkan perut. kenapa? sebagian besar penduduk kita kebutuhan perutnya tidak tercukupi (alias kebutuhan dasar menurut maslow), pada tahap perkembangan , apabila kebutuhan perut tidak tercukupi kita otomatis tidak bisa bergerak ke tingkat yang lebih tinggi, yaitu memenuhi kebutuhan pikiran/intelektual. jadi bahasa gampangnya, boro2 mikir, kenyang aja kaga. (itu penjelasan ilmiah yang diungkapkan dengan santai). hehe.. nice one!

  2. Nia Janiar  

    Iya, gue juga kepikiran itu. Tapi jadinya, mau sampai kapan manusia Indonesia terus berkutat di bawah? Ckckkckc.

  3. Khrisnaresa Adytia  

    betul. sampe kapan ya? yaa kalau pemimpin2 kita ga cuma ribut soal jabatan dan uang di atas sana sih, bisa mulau dari pengadaan sembako dan pendidikan yang jelas. itu aja konsisten 10 tahun ato satu generasi, mungkin hasilnya ada.. dibanding program2 sok spektakuler tapi ganti2 melulu.. heheh..

  4. atnishyabi  

    mungkin orang INA realistis. mereka bertindak untuk hasil yang jelas. maksudnya jelas-jelas menghasilkan uang. Org INA fokus pada penghasilan yg dpt diterima secara 'langsung', bukan dalam bentuk investasi. ex; dagang kecil-kecilan,meskipun hasilnya gak setara dengan hasil usaha 'eksperimen'.

  5. Nia Janiar  

    Dengan kata lain, manusia Indonesia lebih berorientasi pada hasil ketimbang proses?

    Pantesan pada enggak berpendidikan dong. Karena pendidikan adalah proses panjang yang enggak secara langsung ngasih duit?

  6. Laura  

    Bukan perut!!
    Tapi BUDAYA. Budaya Indonesia yang [mungkin] lebih mementingkan perut. Tidak ada budaya yang memberikan edukasi bukan sekedar kepada apa yang dilihat oleh mata sekarang, namun lebih kepada apa yang akan terjadi nanti. Dengan kata lain lingkungan - yang jika terus dieksploitasi mendatangkan keburukan di masa yang akan datang.

    Soal pendidikan sama duit.. Uhm, itu tergantung nilai yang dimiliki seseorang, lagipula tidak perlu 'pendidikan tinggi' untuk mendapatkan pendidikan. Belajar/terdidik selalu bisa dilakukan walaupun tidak berada di instansi pendidikan.

    :) Kita perlu perubahan total pada budaya, cara berpikir dan values.

  7. Nia Janiar  

    Tapi perubahan sosial budaya gimana nih, Ra? Karena merubah yang sudah mengakar ini tidak semudah membalikan telapak tangan.

  8. Laura  

    Betul. Nah itu dia masalahnya.
    Sebelum terjadinya perubahan budaya (termasuk didalamnya pola pikir), sepertinya Indonesia akan terus 'begini2' aja. ;)

    Ga usah jauh2 lah. Psiko UI aja punya budaya prokras dan SKS. Yang berpendidikan aja susah mengubah budaya (dan pola pikir), gimana yang pendidikannya bervariasi (rendah ke tinggi).

    Nasib de *pesimistic mode on.

  9. DIGITAL BACA  

    Postingnya bagus banget .....
    Pada dasarnya kesadaran diri lah yang benting untuk jadi lebih bijaksana. Tidak ada yang perlu disalahkan, dipermasalahkan atau yang lainya, sekarang bagaimana caranya membuat orang lebih mengerti dan paham akan sebab akibat.
    Salam Kenal + salam Damai

  10. Anonim  

    kalo di Indo, mungkin
    kalo di negara lain, belum tentu

    tapi mengapa perut yang disalahkan, itu karena ga ada manusia yang bisa 40 hari 40 malam bertahan tanpa makanan atau minuman (teorinya)

    kl mau lebih teoritis sih, imho, akarnya itu di pilihan.

    orang bisa milih buang sisa makanan sembarangan ato jaga kebersihan meskipun lingkungannya banjir terus tiap tahun.

    kayak ada satu orang di jakarta gt, yg ngubah lingkungannya sendiri jadi lebih baik, dari kotor jadi bersih n bisa lebih bebas banjir (biarpun awalnya banyak yang nyebut dia gila)

    see? ga selalu perut kan?

  11. Dion Dan Dunia  

    hmm... mungkin karena artis indonesia dan acara TV indonesia juga ga gencar kampanye itu? artis punya efek besar untuk awareness sosial, lho...

  12. Laura  

    Hahaha, artis terlalu sibuk melakukan hal lain yang tidak pantas dicontoh :P [bukan menggeneralisasi].

  13. Nia Janiar  

    Setelah menilik dan menimbang.. sepertinya kesimpulannya adalah diakibatkan tidak terpenuhinya kebutuhan manusia, pola pikir pragmatis tapi tidak selalu realistis yang membudaya, kesadaran diri yang kurang (dan juga diri tidak memberi pilihan untuk menyelamatkan lingkungan).

    Adeuh.. Indonesia.. yang dengan sedih kucinta..

  14. Agee  

    ehm...jadi inget maslow kalo gini, emang kebutuhan hidup yang menyangkut "pangan" dasar dari kebutuhan selanjutnya (gw yakin yg lain dah pd lbh jago ttg teori ini ^_^).
    Tapi lha iya..mau mikirin lingkungan gmn, wong mikirin pangan aja dah susah gtu...tapi kayanya skrg penduduk indonesia udah 60 % mamu kalo sekedar utk memenuhi kebutuhan biologisnya yg itu. Ya ga sech, buktinya ni tengah bulan gini, yg belanja masih banyak aja di super-kamrpret2 seantero negeri, dan masih aja dijalan macet ama mobil2 pribadi,,,,aih.
    Sebenernya Indonesia ga separah yang dibayangkan...

    Kata-2 yg udah pada osting bener "rubah budaya", dan gw setuju bgd, cuma makan waktu lama yah dan susah juga ngelakuin itu pada 200 juta lebih penduduk Ind, kalo bicarain para pemimpin wah ga akan ada abisnya kita jadi ngejudge dinasti "orde baru", dll..nanti ga selesai-2 kalo hanya focus ke masalah nya...aihhh

    ehm...agar ga berlarut2, dan bisa sedikit menyarankan..Yuk teman..kita mulai hal-2 baik tu dari diri sendiri dan dari sekarang...paling gtu aja..^_^ syukur-2 tar menular ke org lain, masa SARS yg dari africa aja cepet nyampenya ke Indonesia, masa yg dilakuin bangsa sendiri nggak?! heheh...

  15. Nia Janiar  

    Ah masa sih, masa dong, gee? Wkwwkkw.

Posting Komentar

User Tracking Widget

usability studies by userfly

Psi! Goblog

Psikologi Indonesia Goes Blogging

Recent Posts

Recent Comments

Tags

^Lora^ (15) abu ghraib (1) anak (1) analisa (2) analitis (1) asal mula (1) Atheist (1) bahagia (2) bedah film (2) belajar (1) Binatang (1) budaya populer (1) bunuh diri (1) calling (1) career (1) carl rogers (1) cinta (1) Dalai Lama (1) daniel h. pink (1) dewasa (1) ebook (1) edukasi (1) eksistensial (2) eksperimen (3) ekspresi (1) empati (2) erotomania (1) etiologi (1) filosofi (2) Freud (3) ganteng (1) gardner (1) Gay (4) Gender (1) grand indonesia (1) graphologi (1) Green Psychology (1) grimace project (1) hamil (1) happiness (1) heroism (1) hidup (1) homoseksual (4) hubungan romantis (1) identifying (1) indonesia (1) industri dan organisasi (1) insting (1) jerawat (1) job (1) Jung (1) Juno (1) kamar (1) karir (4) Kebahagiaan (3) kelompok (1) Kematian (1) kepahlawanan (1) kepercayaan diri (1) Kepribadian (5) kesetiaan (1) Khrisnamusti (1) kognitif (5) komitmen (1) konformitas (1) Krisis identitas (1) Kung fu Panda (1) listen to yourself (3) lucifer effect (1) makanan (3) meja kerja (1) mind reading (2) Mitos (1) Music dum-dedumtumtum (1) nasionalisme (1) orang tua (1) orgasme (1) otak kanan (1) otak kiri (1) pacaran (1) panggilan (1) Peace (2) pekerjaan (4) pembunuh berantai (1) pemilu (1) pendidikan seks (3) perempuan (1) perkembangan teknologi (1) pheromone (1) Philip Zimbardo (1) poligami (1) Prejudice (1) presiden (1) profil (1) proses (1) Psikoanalisis (4) psikologi (24) psikologi lingkungan (1) psikologi pendidikan (1) psikologi seksual (1) psikologi transpersonal (1) psikopat (4) psikopatologis (3) psikosis (3) psycamp (1) Realita (1) remaja (3) review buku (2) review film (2) revolusi (1) sejarah (1) seks (2) self-help (1) selligman (1) sintesa (1) sintesis (1) Sosial (4) sosiopat (2) spiritual (3) stalking (1) stereotipe (1) steve jobs (1) stres (1) subjective well-being (1) Tao (2) teknologi (1) Tidur siang (1) tinggi (1) Tips (1) totlol (1) tulisan (1) video (1) vygotsky (1) wajah (1) wanita (1)