Kutipan dibawah ini diambil dari majalah rohani yang berjudul awake:
”Menurut para peneliti di Yale University, AS, anak-anak bayi bahkan yang masih berusia enam bulan telah mengembangkan ”kemampuan memberi penilaian terhadap perilaku orang sebelum mereka (dapat) berbicara”. Anak-anak bayi yang berusia antara enam hingga sepuluh bulan memperhatikan sebuah boneka bermata besar yang mencoba mendaki bukit, sementara boneka-boneka lain ada yang berupaya membantunya atau mendorongnya turun. Lalu, anak-anak itu ”disuruh memilih boneka mana yang ingin mereka ambil untuk mainan”, jelas Houston Chronicle. ”Hampir semua bayi memilih boneka yang senan membantu ketimbang boneka yang nakal.” Jadi, surat kabar itu mengatakan bahwa sampai taraf tertentu, ”bahkan anak-anak bayi sudah dapat membedakan antara teman bermain yang nakal dan yang baik, serta tahu membuat pilihan”.
Melalui penelitian diatas, kira-kira saya dapat menebak mengapa bayi-bayi tersebut memilih mainan yang ’baik’ dibandingkan mainan nakal yang tidak membantu. Tebakan klise, yaitu survival. Bayi dalam ’ketidakmampuan’nya sudah memiliki software bawaan untuk menghindari bahaya – dalam hal ini yaitu boneka-boneka yang akan menarik dirinya jika ia mendaki bukit. Sebuah fakta yang menakjubkan! Masing-masing dari kita ketika lahir kedalam dunia sudah memiliki komponen bawaan yang berguna bagi kelangsungan kehidupan!
Lalu mengapa kemudian komponen tersebut seakan-akan ’hilang’ ketika seseorang beranjak remaja (dan later development)? Kita sering keliru memilih teman yang baik.
Kita bisa melihat remaja ingin mengidentifikasi dirinya sebagai ’seorang populer dengan kekuasaan dimana-mana (dengan aktivitas bergosip, menjelekkan orang lain, being cruel, etc)’, dan setiap anak seems dying supaya bisa masuk kedalam kelompok tersebut. Atau kelompok populer lain yaitu anak bandel yang merokok, mabuk, nge-trek, pembolos, etc sebagai prototipe ’cowok keren’. Semua itu pasti pernah terbersit dalam pikiran kita, saya maupun Anda setidaknya sekali dalam hidup ini. ”It must be cool to be identified as their gang”. Tapi kemudian kita mengabaikan survival, dan membiarkan insting kematian (thanatos) kita menguasai pikiran kita. Komponen bawaan kita semenjak bayi pun akhirnya terlupakan (to choose the better instead of worse-naughty friends).
Needs, mungkin jawabannya. Jika melihat piramida kebutuhan Maslow, maka kebutuhan akan rasa aman (yang kita lihat melalui perilaku survival bayi) beranjak pada kebutuhan lain yang skalanya lebih tinggi. Sense of belongingness dan self-esteem adalah kebutuhan yang bisa diperoleh seseorang dalam keanggotaan kelompok ‘keren’ tersebut, tapi saya rasa mereka kemudian mengabaikan ‘kebutuhan’ security. Perkembangan manusia setelah anak-anak menciptakan sebuah ilusi yang berdasar pada kebudayaan dan kebutuhan. Dengan mengidentifikasi diri dengan kelompok, maka seseorang mungkin merasa aman, tapi sebenarnya tidak mendapatkan ‘aman’ itu sendiri. Rasa aman hanyalah ilusi dari keadaan ketidak-amanan yang sebenarnya. Sehingga kebutuhan diatasnya pun juga hanyalah ilusi belaka.
”So prepare your ammunitions. Get out of the illusions. Identify your self as a man that we are human meant to be by the evolution.”
Oleh:
Lora ^^
Melalui penelitian diatas, kira-kira saya dapat menebak mengapa bayi-bayi tersebut memilih mainan yang ’baik’ dibandingkan mainan nakal yang tidak membantu. Tebakan klise, yaitu survival. Bayi dalam ’ketidakmampuan’nya sudah memiliki software bawaan untuk menghindari bahaya – dalam hal ini yaitu boneka-boneka yang akan menarik dirinya jika ia mendaki bukit. Sebuah fakta yang menakjubkan! Masing-masing dari kita ketika lahir kedalam dunia sudah memiliki komponen bawaan yang berguna bagi kelangsungan kehidupan!
Lalu mengapa kemudian komponen tersebut seakan-akan ’hilang’ ketika seseorang beranjak remaja (dan later development)? Kita sering keliru memilih teman yang baik.
Kita bisa melihat remaja ingin mengidentifikasi dirinya sebagai ’seorang populer dengan kekuasaan dimana-mana (dengan aktivitas bergosip, menjelekkan orang lain, being cruel, etc)’, dan setiap anak seems dying supaya bisa masuk kedalam kelompok tersebut. Atau kelompok populer lain yaitu anak bandel yang merokok, mabuk, nge-trek, pembolos, etc sebagai prototipe ’cowok keren’. Semua itu pasti pernah terbersit dalam pikiran kita, saya maupun Anda setidaknya sekali dalam hidup ini. ”It must be cool to be identified as their gang”. Tapi kemudian kita mengabaikan survival, dan membiarkan insting kematian (thanatos) kita menguasai pikiran kita. Komponen bawaan kita semenjak bayi pun akhirnya terlupakan (to choose the better instead of worse-naughty friends).
Needs, mungkin jawabannya. Jika melihat piramida kebutuhan Maslow, maka kebutuhan akan rasa aman (yang kita lihat melalui perilaku survival bayi) beranjak pada kebutuhan lain yang skalanya lebih tinggi. Sense of belongingness dan self-esteem adalah kebutuhan yang bisa diperoleh seseorang dalam keanggotaan kelompok ‘keren’ tersebut, tapi saya rasa mereka kemudian mengabaikan ‘kebutuhan’ security. Perkembangan manusia setelah anak-anak menciptakan sebuah ilusi yang berdasar pada kebudayaan dan kebutuhan. Dengan mengidentifikasi diri dengan kelompok, maka seseorang mungkin merasa aman, tapi sebenarnya tidak mendapatkan ‘aman’ itu sendiri. Rasa aman hanyalah ilusi dari keadaan ketidak-amanan yang sebenarnya. Sehingga kebutuhan diatasnya pun juga hanyalah ilusi belaka.
”So prepare your ammunitions. Get out of the illusions. Identify your self as a man that we are human meant to be by the evolution.”
Oleh:
Lora ^^