HAVE YOU EVER BEEN A HOMOSEXUAL? [On Being by Learning to Accept Individual Differences – A Dialog 1]
Siang hari ketika matahari sedang terik menyinari bumi, seorang mahasiswa bernama Loki sedang duduk menikmati lembar demi lembar dari buku yang ia pegang, kopi menemani keasikkan diri. Hiruk pikuk terjadi disekelilingnya, maklum ketika itu adalah saat makan siang di kantin kampus, walaupun tidak seramai biasanya karena sedang bulan puasa.
Dibelakang Loki duduk bapak-bapak, yang dari penampilannya tidak terlihat seperti mahasiswa, bapak tersebut bernama Antiq (yang secara tidak sengaja memiliki sikap negatif terhadap kaum homoseksual).
Dari jauh terlihat Gae sedang tergopoh-gopoh menuju tempat Loki.
Gae : ”Lok, lo harus ke labkom sekarang.”
Loki : ”Eitz, tenang. Ada apa neh?”
Gae masih mengambil nafas sebelum akhirnya melanjutkan kata-katanya.
Gae : ”Buka forum”
Loki : ”Ah, ga mau. Pasti ga penting deh, tentang perdebatan mengenai homoseksual khan?”
Gae : ”Lah, kok Lo tau?”
Loki : ”Iyalah, apalagi. Buat apa sih masih diperdebatkan lagi. Mau argumen sampai mulut berbusa pun, orang-orang yang anti homoseksual tetap saja tidak akan pernah menerima kalian-kalian ini (Gae adalah teman Loki yang kebetulan juga homoseksual).”
Gae : ”Iya sih. Tapi kan, gue kesel juga gara-gara dijelekin mereka sampai segitunya.”
Loki : ”Sampai sepeti apa memang? Dan apakah hal tersebut mempengaruhi jati diri lo sebagai seorang gay? Engga khan. Terus kenapa pendapat orang-orang itu harus lo pikirin?”
Gae terdiam.
Loki : ”Nih, gue kasih tau lo aja. Mereka semua ga pantas menghakimi lo atas apa yang lo lakukan! Mereka hanya iri. Tau ga, hampir seluruh mitologi di dunia ini menaruh kedudukan tinggi pada dewa yang memiliki sifat maskulin dan feminin seimbang. Bahkan kata Jung, si salah satu bapak psikoanalisa itu, setiap manusia memiliki ketidaksadaran gender yang bertolak belakang dengan yang ia miliki, jadi misalnya lo adalah seorang laki-laki, lo tuh memiliki ketidaksadaran wanita yang disebut anima. Orang-orang homoseksual adalah orang-orang yang telah berhasil mengeluarkan ketidaksadarannya tersebut dan menjadi manusia yang utuh! Well, see, you are better than me! You have the masculine and feminine aspect all over in you. Isn’t that a great thing?”
Loki berapi-api mencoba mengangkat harga diri temannya itu kembali, mencoba tetap menjadikan gae, yang seorang homoseksual itu, “manusia”. Dilain pihak, ternyata bapak Antiq yang sedang duduk dibelakang mereka mendengarkan dengan seksama percakapan Loki dan Gae tentang homoseksualitas.
Loki : ”Kenapa diam? Mereka itu hanyalah orang-orang yang dengan sangat percaya diri menunjuk orang lain sedangkan keempat jari yang ia gunakan untuk menunjuk sebenarnya menunjuk pada dirinya sendiri. Seperti kata Matius 7 ’Mengapakah engkau melihat selumbar dimata saudaramu, sedangkan balok didalam matamu sendiri tidak diketahui??’.”
Gae masih terlihat muram.
Loki : ”Kenapa lagi? Mereka tidak pernah merasakan menjadi dirimu, sehingga mereka tidak akan pernah mengerti. Mereka tidak bisa merasakan apa yang kau rasakan, sehingga dengan mudahnya mereka menghakimi kamu. Toh jelas-jelas dalam kitab suci dikatakan manusia tidak memiliki hak untuk menghakimi ’Matius 7:1 – Jangan kamu menghakimi, supaya kamu tidak dihakimi.”
Ternyata Bapak Antiq yang daritadi mendengarkan sudah sangat panas untuk berpendapat, sampai akhirnya ia mendatangi kedua sobat yang sedang berbincang itu.
Antiq : ”Nak, kamu boleh mengatakan apapun juga. Tapi tetap saja kitab suci mengutuk perbuatan homoseksual. Dan jelas-jelas dikatakan bahwa homoseksual adalah ’dosa’”.
Bapak Antiq melihat Gae dengan pandangan kritis. Loki dan Gae dengan wajah terbingung-bingung dan dalam hati bertanya-tanya ’kenapa lagi neh orang ikut campur urusan orang aja’. Hahaha.
Loki : ”Oke. Kitab suci mengatakan demikian. Benarkah? Memang apa sih yang dilakukan oleh homoseksual??”
Antiq : ”Jelas-jelas melakukan hubungan sejenis!”
Masih panas Bapak Antiq ini menjawab karena sebenarnya sudah tidak tahan untuk mengungkapkan pendapatnya sejak awal percakapan ini.
Loki : ”Dosa? Apakah mereka menyakiti orang lain? Apakah mereka merugikan pihak lain? Yang saya lihat justru kaum gay mencinta. Dan apa salahnya dari mencinta? Tidak seperti saya atau Anda yang jelas2 sering mencuri dengan mengunduh dari internet, merugikan orang lain, nah itu baru dosa. Nyata lagi, ada yang dirugikan. Ayo sini, yang merasa dirugikan oleh keberadaan kaum gay, coba tuntut mereka. Ga ada yang rugi kayanya, tak ada yang tersakiti, coba bandingkan dengan penghakiman Bapak akan kaum gay yang menyakiti mereka, atau koruptor yang merugikan rakyat. Kenapa justru kaum gay yang selalu ditunjuk2 dosanya?? Karena ayat kitab sucikah?
Kenapa kita harus selalu menunjuk orang lain, mengapa tidak menunjuk diri sendiri? Ketika kita menggunakan satu ayat untuk menghakimi orang lain bahwa mereka berdosa, bukankah lebih baik kita merefleksi diri dengan beribu ayat lain yang mungkin menyatakan bahwa diri kitalah yang berdosa. Mengapa harus dimulai dengan menunjuk orang lain, dan bukan diri sendiri??
Bukankah juga kita melakukan dosa? Bukankah juga kita selalu menilai orang lain? Baik. Seperti ini. Aku mengalami banyak hal dalam hidupku sampai saat ini walaupun mungkin usiaku masih sangat hijau bagi kebanyakan orang, namun aku menyadari perubahan sikap-sikap yang membentuk aku dari hari ke hari, dan aku selalu merefleksi setiap nilai-nilai yang aku pegang. Ketika aku remaja aku memiliki sikap yang sangat negatif pada perilaku merokok. Aku selalu secara terang-terangan menyatakan kebencianku atas mereka yang ’bodoh’ karena merusak diri sendiri. Sampai aku sendiri jatuh pada lubang tersebut. Dan aku mulai menjustifikasi diriku. Aku mulai mencari pembenaran atas kesalahan yang aku lakukan. ’aku merokok karena stres banget nihh, perlu pelampiasan!’
Bukankah kita semua mengalami perubahan nilai? Dan ketika nilai itu berubah, bukankah kita juga selalu mencari pembenaran atas kesalahan yang kita lakukan. Saya rasa sangatlah munafik ketika orang lain melakukan yang buruk maka kita menghujat, tapi ketika diri sendiri melakukan hal buruk, maka mencari pembenaran. Saya malu dengan diri saya sendiri. Sejak saat itu saya mencoba seminim mungkin ’menunjuk’ dosa orang lain. Karena saya tidak pernah menjadi mereka, dan saya tidak pernah tahu pembenaran apa yang mereka miliki.”
Loki tersenyum, namun Bapak Antiq terlihat tidak mau kalah dengan pandangannya.
Antiq : ”Tidak juga. Saya merokok. Dan saya tahu itu dosa karena merusak diri sendiri.”
Loki : ”Ya. Dan yang menghakimi Anda pada akhirnya adalah......?”
Bapak Antiq terdiam.
Loki : ”Tuhan.” Loki mengucapkan kata tersebut dengan perlahan namun pasti.
”Apakah Anda akan merasa senang jika Anda ditunjuk orang lain dan dikatakan berdosa (bukan hanya merokok, tapi juga gosip, mengambil milik orang lain, tidak tepat janji, bohong, selingkuh, seks diluar nikah, batal puasa, dll)? Aku rasa Anda akan menjadi kesal, dan memulai segala bentuk pembenaran diri untuk mengatasi kekesalan Anda itu.”
Kita selalu membenarkan diri kita sendiri atas kesalahan yang kita lakukan. Namun ketika orang lain yang melakukan kesalahan (bahkan mungkin kesalahan yang sama seperti yang kita lakukan), kita dengan semangat menghakimi dan mencela mereka. Coba Anda ingat-ingat lagi terakhir Anda melakukan pembenaran diri, pasti you will pay your whole life for them to understand what you feel? Won’t you? Ketika itu Anda akan berharap dunia bisa mengerti yang Anda rasakan, mengerti dan dapat menerima pembenaran diri Anda. Anda akan berharap empati dari mereka (atau tidak perlu empati, at least menerima justifikasi dari ’dosa’ Anda).
Sekarang, ketika saya memberikan pembenaran diri saya. Kaum gay memberikan pembenaran dirinya. Ulama yang poligami memberikan pembenaran dirinya. Artis yang bercerai memberikan pembenaran dirinya. Remaja yang hamil diluar nikah memberikan pembenaran dirinya. Masakah kita tidak bisa menerimanya? Masakah kita menghakimi mereka, ketika kita pun sadar bahwa oknum terakhir yang berdiri adalah Tuhan sendiri.
Nb. Revisi ini saya buat untuk lebih menjelaskan maksud kenapa posting ini pertama kali dituliskan, karena sebelumnya terlalu terbias dengan emosi. Versi sebelumnya masih bisa dilihat di blog pribadi saya. Terima kasih.
(Lora)
Dibelakang Loki duduk bapak-bapak, yang dari penampilannya tidak terlihat seperti mahasiswa, bapak tersebut bernama Antiq (yang secara tidak sengaja memiliki sikap negatif terhadap kaum homoseksual).
Dari jauh terlihat Gae sedang tergopoh-gopoh menuju tempat Loki.
Gae : ”Lok, lo harus ke labkom sekarang.”
Loki : ”Eitz, tenang. Ada apa neh?”
Gae masih mengambil nafas sebelum akhirnya melanjutkan kata-katanya.
Gae : ”Buka forum”
Loki : ”Ah, ga mau. Pasti ga penting deh, tentang perdebatan mengenai homoseksual khan?”
Gae : ”Lah, kok Lo tau?”
Loki : ”Iyalah, apalagi. Buat apa sih masih diperdebatkan lagi. Mau argumen sampai mulut berbusa pun, orang-orang yang anti homoseksual tetap saja tidak akan pernah menerima kalian-kalian ini (Gae adalah teman Loki yang kebetulan juga homoseksual).”
Gae : ”Iya sih. Tapi kan, gue kesel juga gara-gara dijelekin mereka sampai segitunya.”
Loki : ”Sampai sepeti apa memang? Dan apakah hal tersebut mempengaruhi jati diri lo sebagai seorang gay? Engga khan. Terus kenapa pendapat orang-orang itu harus lo pikirin?”
Gae terdiam.
Loki : ”Nih, gue kasih tau lo aja. Mereka semua ga pantas menghakimi lo atas apa yang lo lakukan! Mereka hanya iri. Tau ga, hampir seluruh mitologi di dunia ini menaruh kedudukan tinggi pada dewa yang memiliki sifat maskulin dan feminin seimbang. Bahkan kata Jung, si salah satu bapak psikoanalisa itu, setiap manusia memiliki ketidaksadaran gender yang bertolak belakang dengan yang ia miliki, jadi misalnya lo adalah seorang laki-laki, lo tuh memiliki ketidaksadaran wanita yang disebut anima. Orang-orang homoseksual adalah orang-orang yang telah berhasil mengeluarkan ketidaksadarannya tersebut dan menjadi manusia yang utuh! Well, see, you are better than me! You have the masculine and feminine aspect all over in you. Isn’t that a great thing?”
Loki berapi-api mencoba mengangkat harga diri temannya itu kembali, mencoba tetap menjadikan gae, yang seorang homoseksual itu, “manusia”. Dilain pihak, ternyata bapak Antiq yang sedang duduk dibelakang mereka mendengarkan dengan seksama percakapan Loki dan Gae tentang homoseksualitas.
Loki : ”Kenapa diam? Mereka itu hanyalah orang-orang yang dengan sangat percaya diri menunjuk orang lain sedangkan keempat jari yang ia gunakan untuk menunjuk sebenarnya menunjuk pada dirinya sendiri. Seperti kata Matius 7 ’Mengapakah engkau melihat selumbar dimata saudaramu, sedangkan balok didalam matamu sendiri tidak diketahui??’.”
Gae masih terlihat muram.
Loki : ”Kenapa lagi? Mereka tidak pernah merasakan menjadi dirimu, sehingga mereka tidak akan pernah mengerti. Mereka tidak bisa merasakan apa yang kau rasakan, sehingga dengan mudahnya mereka menghakimi kamu. Toh jelas-jelas dalam kitab suci dikatakan manusia tidak memiliki hak untuk menghakimi ’Matius 7:1 – Jangan kamu menghakimi, supaya kamu tidak dihakimi.”
Ternyata Bapak Antiq yang daritadi mendengarkan sudah sangat panas untuk berpendapat, sampai akhirnya ia mendatangi kedua sobat yang sedang berbincang itu.
Antiq : ”Nak, kamu boleh mengatakan apapun juga. Tapi tetap saja kitab suci mengutuk perbuatan homoseksual. Dan jelas-jelas dikatakan bahwa homoseksual adalah ’dosa’”.
Bapak Antiq melihat Gae dengan pandangan kritis. Loki dan Gae dengan wajah terbingung-bingung dan dalam hati bertanya-tanya ’kenapa lagi neh orang ikut campur urusan orang aja’. Hahaha.
Loki : ”Oke. Kitab suci mengatakan demikian. Benarkah? Memang apa sih yang dilakukan oleh homoseksual??”
Antiq : ”Jelas-jelas melakukan hubungan sejenis!”
Masih panas Bapak Antiq ini menjawab karena sebenarnya sudah tidak tahan untuk mengungkapkan pendapatnya sejak awal percakapan ini.
Loki : ”Dosa? Apakah mereka menyakiti orang lain? Apakah mereka merugikan pihak lain? Yang saya lihat justru kaum gay mencinta. Dan apa salahnya dari mencinta? Tidak seperti saya atau Anda yang jelas2 sering mencuri dengan mengunduh dari internet, merugikan orang lain, nah itu baru dosa. Nyata lagi, ada yang dirugikan. Ayo sini, yang merasa dirugikan oleh keberadaan kaum gay, coba tuntut mereka. Ga ada yang rugi kayanya, tak ada yang tersakiti, coba bandingkan dengan penghakiman Bapak akan kaum gay yang menyakiti mereka, atau koruptor yang merugikan rakyat. Kenapa justru kaum gay yang selalu ditunjuk2 dosanya?? Karena ayat kitab sucikah?
Kenapa kita harus selalu menunjuk orang lain, mengapa tidak menunjuk diri sendiri? Ketika kita menggunakan satu ayat untuk menghakimi orang lain bahwa mereka berdosa, bukankah lebih baik kita merefleksi diri dengan beribu ayat lain yang mungkin menyatakan bahwa diri kitalah yang berdosa. Mengapa harus dimulai dengan menunjuk orang lain, dan bukan diri sendiri??
Bukankah juga kita melakukan dosa? Bukankah juga kita selalu menilai orang lain? Baik. Seperti ini. Aku mengalami banyak hal dalam hidupku sampai saat ini walaupun mungkin usiaku masih sangat hijau bagi kebanyakan orang, namun aku menyadari perubahan sikap-sikap yang membentuk aku dari hari ke hari, dan aku selalu merefleksi setiap nilai-nilai yang aku pegang. Ketika aku remaja aku memiliki sikap yang sangat negatif pada perilaku merokok. Aku selalu secara terang-terangan menyatakan kebencianku atas mereka yang ’bodoh’ karena merusak diri sendiri. Sampai aku sendiri jatuh pada lubang tersebut. Dan aku mulai menjustifikasi diriku. Aku mulai mencari pembenaran atas kesalahan yang aku lakukan. ’aku merokok karena stres banget nihh, perlu pelampiasan!’
Bukankah kita semua mengalami perubahan nilai? Dan ketika nilai itu berubah, bukankah kita juga selalu mencari pembenaran atas kesalahan yang kita lakukan. Saya rasa sangatlah munafik ketika orang lain melakukan yang buruk maka kita menghujat, tapi ketika diri sendiri melakukan hal buruk, maka mencari pembenaran. Saya malu dengan diri saya sendiri. Sejak saat itu saya mencoba seminim mungkin ’menunjuk’ dosa orang lain. Karena saya tidak pernah menjadi mereka, dan saya tidak pernah tahu pembenaran apa yang mereka miliki.”
Loki tersenyum, namun Bapak Antiq terlihat tidak mau kalah dengan pandangannya.
Antiq : ”Tidak juga. Saya merokok. Dan saya tahu itu dosa karena merusak diri sendiri.”
Loki : ”Ya. Dan yang menghakimi Anda pada akhirnya adalah......?”
Bapak Antiq terdiam.
Loki : ”Tuhan.” Loki mengucapkan kata tersebut dengan perlahan namun pasti.
”Apakah Anda akan merasa senang jika Anda ditunjuk orang lain dan dikatakan berdosa (bukan hanya merokok, tapi juga gosip, mengambil milik orang lain, tidak tepat janji, bohong, selingkuh, seks diluar nikah, batal puasa, dll)? Aku rasa Anda akan menjadi kesal, dan memulai segala bentuk pembenaran diri untuk mengatasi kekesalan Anda itu.”
Kita selalu membenarkan diri kita sendiri atas kesalahan yang kita lakukan. Namun ketika orang lain yang melakukan kesalahan (bahkan mungkin kesalahan yang sama seperti yang kita lakukan), kita dengan semangat menghakimi dan mencela mereka. Coba Anda ingat-ingat lagi terakhir Anda melakukan pembenaran diri, pasti you will pay your whole life for them to understand what you feel? Won’t you? Ketika itu Anda akan berharap dunia bisa mengerti yang Anda rasakan, mengerti dan dapat menerima pembenaran diri Anda. Anda akan berharap empati dari mereka (atau tidak perlu empati, at least menerima justifikasi dari ’dosa’ Anda).
Sekarang, ketika saya memberikan pembenaran diri saya. Kaum gay memberikan pembenaran dirinya. Ulama yang poligami memberikan pembenaran dirinya. Artis yang bercerai memberikan pembenaran dirinya. Remaja yang hamil diluar nikah memberikan pembenaran dirinya. Masakah kita tidak bisa menerimanya? Masakah kita menghakimi mereka, ketika kita pun sadar bahwa oknum terakhir yang berdiri adalah Tuhan sendiri.
Nb. Revisi ini saya buat untuk lebih menjelaskan maksud kenapa posting ini pertama kali dituliskan, karena sebelumnya terlalu terbias dengan emosi. Versi sebelumnya masih bisa dilihat di blog pribadi saya. Terima kasih.
(Lora)
26 Agustus 2008 pukul 19.45
Gw jadi tambah bingung. Intinya, untuk empati, kira HARUS merasakan hal yang sama?
Artinya, ketika gw berempati teman gw AIDS, gw juga harus AIDS?
27 Agustus 2008 pukul 22.11
"Kemudian aku mulai menJUSTIFIKASI perbuatanku. Bukankah justifikasi adalah hal mudah yang manusia lakukan kalau membela diri sendiri? Tapi kok susah banget yah untuk mengerti atau empati atau lebih lagi justifikasi untuk orang lain karena kita tidak pernah menjadi mereka (atau tinggal menunggu waktu kita ‘menjadi’ mereka supaya kita mulai bisa menjustifikasi apa yang tadinya kita anggap salah?)"
Aku tidak menyarankan untuk menjadi seperti dia, namun aku mengajak pembaca untuk lebih berempati kepada orang lain, karena kita tidak merasakan apa yang mereka rasakan. Misalnya aja teman AIDS, janganlah jijik sama dia ato parno ketularan dll. Tapi lebih melihat kekedalamannya, kenapa dia seperti itu, apakah dia memiliki pilihan lain ketika menjadi Aids, bukan sekedar mencap 'you are useless, you are aids'.
Seperti juga aku ga pernah menjadi pengemis, tapi aku ngertilah klo mereka menjadi seperti itu karena tuntutan ekonomi :)
Tapi inti sebenarnya sih, jangan terlalu mengurusi orang lain atas apa yang mereka lakukan, jangan men-judge karena toh men-judge bukan urusan kita, tapi urusan yang diatas.. (klo dari tulisan 'have you ever been homoseksual?', kita men-judge karena kita tidak merasakan apa yang mereka rasakan, coba kita yang melakukannya sendiri, mati2an kita bakal justifikasi)..
28 Agustus 2008 pukul 08.48
Lora,
anda kan sudah memberi komentar di blognya Hell-Da, saya lihat anda cukup berempati kepada para gay yg sebagiannya nulis komen di blog itu. namun apakah anda juga berempati dengan alif? Dia juga nunjukin ayat2 yang mengecam perilaku homoseksual, meskipun dia seorang homoseks juga. Bagaimana cara pandang anda (yang anda tunjukin di blog ini) dan latar belakang keilmuan anda menjelaskannya?
29 Agustus 2008 pukul 08.10
Dari cara anda mengatakannya, kok saya merasa yang anda renungkan lebih ke arah "simpati" daripada "empati" ya?
*mencoba bersimpati pada orang-orang yang anda singgung*
Tidak bisakah saya berkeyakinan bahwa homoseksual (in activity or in person) itu dosa sambil tetap mampu memahami betapa sulitnya mereka didiskriminasi dan dilecehkan?
LOH??? Kok tidak menyertakan ayat lain dimana ANDA sendirilah yang dituding pada ayat tersebut?! Ayat kitab suci itu BERIBU, klo Anda memberikan SATU yang mengatakan homosekual dosa, mungkin Anda memiliki BERATUS ayat yang menuding pada diri Anda itu berdosa, mengapa memulai menunjuk orang lain? Tunjuklah diri sendiri!
Jadi...setelah saya menunjuk diri sendiri, saya boleh menunjuk mereka? Saya sudah bisa bilang bahwa "yes, I've committed these sins. And I see you have committed this homosexual sin, too. Let's help each other repent in forgiveness of our Lord"?
Let’s talk religion. Ada pepatah mengatakan, ‘siapa yang tidak berdosa, boleh melemparkan batu PERTAMA kepada wanita yang melakukan perzinahan (pelacur)’. Sekarang aku katakan, ‘siapa yang merasa tidak bercacat cela, dan merasa lebih saleh hidupnya dibandingkan homoseksual, boleh berdiri dan mulai memberikan argumennya tentang DOSA kaum homo’.
Ha, tampaknya tidak bisa. Tapi bagaimana kalau saya tidak percaya Yesus dan Alkitabnya? Dan kenapa anda mulai memberikan argumen anda tentang 'dosa' kaum pengutuk homo ketika anda sendiri belum tentu lebih baik dari mereka? Selama ini saya selalu merasa tafsir ayat itu sering digeneralisasi berlebihan; seolah-olah tidak ada orang selain Tuhan sendiri yang boleh mengkritik perilaku sesamanya in any way.
aku selalu berpikir BEGO banget orang yang merokok, TOLOL banget orang yang lari dari masalah dengan alkohol, MALAS banget para pengamen, DOSA banget orang yang melakukan SEKS sebelum nikah (jangankan seks, pegang2 juga udah dosa tuh!), JAHAT banget psikopat yang membunuh demi kesenangan, TEGA banget orang yang selingkuh, KOK pelaku agama tapi bla,bla,bla…
Intinya memang soal sikap, tapi anda mencampuradukkan masalah moral, ekonomi, dan hukum dalam contoh-contoh itu. Saya rasa keabsolutan nilai judgemental kita pada pelaku seks pranikah, pengamen, atau pembunuh itu tidak sama.
Ketika aku mencoba EMPATI. Menjadi mereka: merokok, alkohol. Aku mulai mengubah nilai yang sebelumnya aku pegang, dan memudarkan benci terhadap kebodohan yang dulunya tak pernah bisa kumengerti.
Saya rasa, empati itu seperti ini: Apakah saya sudah mengerti dasar pemikiran mereka? YA. Apakah saya masih diperbolehkan untuk mempertahankan nilai-nilai yang saya anut yang tidak sejalan dengan pemikiran semacam itu? YA. Sekali lagi, yang anda tuturkan lebih terdengar seperti 'simpati'.
Lalu masalah contoh kasus selingkuh anda dan ini,
PERNAHKAH KITA MENJADI MEREKA sehingga kita mempersalahkan mereka dengan apa yang mereka pilih?
Andaikan saja ada seorang gay yang bertobat dan menganut agama tertentu; Apakah dia lalu lebih dapat menjustifikasi tindakannya ketika ia memberi cap 'pendosa' pad teman-temannya sesama gay karena "dia pernah menjadi mereka"?
*udah ah, capek bersimpati terus*
Nb. Kalo kita-kita mah di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia sangat menerima perbedaan. Karena kita belajar tentang manusia, lebih mau mencoba mengerti tentang manusia dan tingkah lakunya.
Ah, anda terlalu optimis ^^;
3 September 2008 pukul 04.19
Bukan simpati. Tapi empati. Pengalaman yang saya utarakan (merokok;dll) di posting ini kan bukan sengaja saya lakukan hanya untuk ‘menjadi mereka’, tetapi ada tuntutan dari lingkungan, dsb. Yang kemudian membuat saya berpikir, ‘aku menjustifikasi diriku sendiri ketika aku melakukan perbuatan yang dulunya aku kutuk, tapi bagaimana dengan sikapku sekarang dengan perbuatan tersebut ketika akulah yang melakukannya?? Kejadian itu akhirnya membawa aku pada pemikiran untuk tidak menunjuk kepada orang lain. Malu lah, diri sendiri dijustifikasi berlebihan, sedangkan orang lain dihina2. Sehingga sekarang ini aku mencoba untuk sharing supaya orang lain tidak melakukan apa yang dulu aku lakukan.
Tidak bisakah saya berkeyakinan bahwa homoseksual (in activity or in person) itu dosa sambil tetap mampu memahami betapa sulitnya mereka didiskriminasi dan dilecehkan?
Bisa saja. Tapi sekali lagi, rasanya beda loh mampu memahami betapa sulitnya mereka bla bla bla dengan benar-benar merasakannya. Itu lah maksudku!!
Jadi...setelah saya menunjuk diri sendiri, saya boleh menunjuk mereka? Saya sudah bisa bilang bahwa "yes, I've committed these sins. And I see you have committed this homosexual sin, too. Let's help each other repent in forgiveness of our Lord"? Selama ini saya selalu merasa tafsir ayat itu sering digeneralisasi berlebihan; seolah-olah tidak ada orang selain Tuhan sendiri yang boleh mengkritik perilaku sesamanya in any way.
Oww, jadi selain tuhan sendiri, orang lain bisa mengkritik perilaku sesamanya in any way? Kalo memang itulah yang menjadi pola pikir Anda, saya tidak bisa mengubahnya, tapi memang mudah untuk menghakimi/ mengkritik orang lain.
“Bagaimanakan engkau dapat BERKATA kepada saudaramu: Biarlah aku mengeluarkan selumbar itu dari matamu, padahal ada balok di dalam matamu. Hai orang munafik keluarkanlah dahulu balok dari matamu, maka engkau akan melihat dengan jelas untuk mengeluarkan selumbar itu dari mata saudaramu.”
(Matius 7:4-5)
Tidak ada gading yang tak retak, tiada manusia yang sempurna. Setiap manusia memiliki balok itu di dalam matanya. Hmm, jika Anda tidak percaya Yesus dan kitabnya, saya rasa pepatah2 ini universal. Toh aku juga bukan sama sekali pengikut Yesus, even percaya sama Dia aja engga! Tapi ajaran yang Ia ajarkan sangat bagus untuk kehidupan. Baik untuk diri sendiri, maupun untuk interaksi dengan orang lain, kenapa tidak?!
*udah ah, capek bersimpati terus* Ah, anda terlalu optimis ^^
Aku tidak optimis! Aku berharap. Karena toh orang-orang yang belajar psikologi, atau membuat blog keren tentang psikologi, tidak semuanya bisa menerima perbedaan. Sangat disayangkan! Bukankah psikologi itu netral? Itulah yang sebenarnya mengapa banyak orang ragu untuk mengkonsultasikan masalahnya kepada psikolog.
Pernah nonton Gothica?? Saya rasa film tersebut sangat menggambarkan apa yang ingin saya utarakan disini.
Penelope Cruz adalah seorang pasien RSJ dimana Halle Berry adalah psikiaternya, pada dialog pembukaan Cruz mengatakan bahwa ia diperkosa oleh ‘the devil’ yang berada pada kamar RS. Halle Berry selalu menghubungkan cerita Cruz dengan halusinasi terhadap trauma buruk Cruz terhadap ayahnya (meskipun yang Cruz katakan sebenarnya benar bahwa ia diperkosa). Halle Berry meminta Cruz, ‘trust me’. Lalu Cruz menjawab, ‘I can’t trust someone who thinks I am crazy!’
Cerita kemudian bergulir. Halle Berry masuk RSJ karena membunuh tanpa ia sadari (dalam film itu ia dirasuk). Halle Berry akhirnya merasakan menjadi Cruz, ketika ia mengatakan yang sebenarnya para dokter menganggap ia gila. Ia membalik semua kata2 yang pernah Cruz katakan kepada dokter yang sekarang menangani Berry. ‘I CAN NOT TRUST SOMEONE WHO THINKS I AM CRAZY!’ Ketika Berry meminta maaf pada Cruz di hall RSJ, Cruz hanya berkata ‘well, the more you try to convince them that you tell the truth, the crazier you look!’
It is ironic! But that is the truth. Psikolog (bukan bermaksud untuk menggeneralisasi) selalu menghubungkan gejala neurotik dsb dengan gangguan-gangguan psikologis, yang kemudian (mungkin) secara tidak sadar, psikolog menempatkan klien ‘lebih rendah’ dari dirinya (yang seharusnya setara).
Yah, hal seperti ini tidak terjadi pada lulusan psikologi UI de (semoga).
5 September 2008 pukul 09.13
yah..namanya manusia.ga da yg sempurna,,tp gw salut ma mereka,pd umumnya ..mrk orang-orang yang sukses lho...
yang pasti,gw menghormati mereka,,ga musti empati!!!
5 September 2008 pukul 20.03
Lora...mungkin kalo kita mempelajari ilmu psikologi kita bisa memahami individual differences, tapi gak semua juga orang yang yang mempelajari ilmu psikologi menerima individual differences. Jadi, apalagi orang yang tidak mempelajari ilmu psikologi, walaupun gak semua orang yang tidak mempelajari ilmu psikologi gak memahami individual differences. Jadi normal kan kalo ada perbedaan pendapat.Contohnya, gw muslin dan gw tau ayat-ayat ttg homoselsual, tapi gw ttp menghormati homoseksual. Tapi gak semua orang yang kaya gw bisa menghormati homoseksual, kan? Balik lagi lor, itu kan tergantung masing-masing orang. dan setiap orang itu kan dipengaruhi faktor biologis dan lingkungan yang berbeda.
Kalo menurut gw sih biarin aja orang mo bilang apa. Selama kita nyaman melakukan hal itu, terus kenapa? mo hetero, homo, bi , so what?!
7 September 2008 pukul 08.02
Huwaaa.. Ini Karlina Rani? Hohohoho... Setuju2 aja.. :) Sebenernya gue agak nyesal nulis ini.. Karena menurut gue, orang yang emang memiliki sikap negatif mengenai homoseksual (atau apapun juga) akan tetap menyimpan benci/tidak setuju/ menghakimi, terserah mo orang bilang apa kek.. Yah entahlah.. Hahahah..
Biar hati kecil bicara aja (klo masih punya ;p) wakakakak
9 September 2008 pukul 16.12
"Hal ini dimula dari seorang teman gay yang meng-sms aku malam-malam bertanya apakah aku bisa OL..."
Gak salah Lo? Bukannya ini dimulai dari email yg aku kirim pagi-pagi? Wakakaka...
10 September 2008 pukul 02.05
@sumoneoutthere: aren't you gay?? wakkakak...
Bukan2.. Bukan gara2 imel yang kau kirim kalee.. imel kamu aku ignore, bacanya aja malas.. wekks..
@vardos: selamat! Anda mencapai konsep yang lebih tinggi! yaitu menghormati setiap manusia siapapun dia.. :)
10 September 2008 pukul 15.17
Huwakakaka...
Hallahh. Kalo bukan dari email yg aku kirim, tau darimana link blog yang ntu smp kamu bisa komen disana? Wekk! Jelek lu!
11 September 2008 pukul 19.41
Lora,
Maaf sebelumnya jika saya menyatakan agak terusik dengan tulisan anda. Anda benar, bahwa anda sudah memasukkan unsur emosi yang berlebihan ke dalam tulisan anda, dan akhirnya saya sepakat dengan popsy bahwa pada kenyataan dan akhirnya anda terkesan bersimpati, bukan berempati.
Anyway, saya menghargai upaya anda meraba2 empati dan homoseksualitas, dalam segala keterbatasan dan kelebihan anda. Saya maklum, ketika masih seusia anda, kuliah di jurusan yang sama, saya masih amat sangat emosional dalam bersikap dan kadang2 lupa bahwa sepuas apapun saya atas hasil pencandraan saya, toh selalu masih ada celah yang perlu diisi. Well, practice makes perfect, itulah gunanya kesalahan: Memberi kita pengalaman untuk menyempurnakan.
Sebagai latihan, mengapa tidak anda mulai dari merespons komentar saya mengenai komentar Alif yang dimuat di blognya Hell-da? Saya tekankan ini, karena ada kekhawatiran pada anda sebagaimana yang saya amati pada orang awam untuk menyamakan semua homoseks. Pendapat Alif merupakan wakil dari subpopulasi homoseksual yang (celakanya, bahkan oleh psikolog sendiri) dianggap tidak ada dan tidak bermakna. Buktinya? Dalam riset2 ilmiah, sampelnya diambil dari anggota2 komunitas2 homofili, padahal orang2 sepeti Alif jelas2 homoseks yang bukan anggota komunitas2 tersebut. Tidaklah mengherankan, jika hasil2 riset dan rekomendasi yang dihasilkan oleh kalangan kita semakin meminggirkan mereka, di saat kita berusaha untuk menolong populasi gay pada umumnya.
Anda menyodorkan contoh dari film Gothica. Ini contoh yang baik, karena tokoh utamanya digambarkan (pada awalnya) lebih percaya pada profesional judgementnya yang berbasis bukti2 ilmiah, daripada benar2 menyimak apa yang dikatakan oleh pasiennya. Nah, dengan niat baik membantu (calon) rekan seprofesi, saya tawarkan: Bagaimana kalau anda juga berusaha berempati dengan orang2 seperti Alif? Saya percaya, ini merupakan tugas yang menantang, karena untuk melakukannya anda harus merombak sejumlah konsep yang sudah didoktrinkan di dunia psikologi (terutama UI, karena saya pernah berdebat dengan mahasiswa bimbingan Bp. Sarlito dan saya paham betul bahwa tidak ada ruang dalam argumennya untuk hal-2 selain bukti2 ilmiah dengan tingkat validitas dan reliabilitas tinggi). Namun saya percaya, bahwa anda punya peluang yang bagus untuk belajar. Buktinya, dalam mensharingkan gagasan anda, anda amat menghargai perbedaan individual dan subjektivitas dalam memandang dunia. Tidak semata2 comot riset ini dan itu.
Mengenai komentar Popsy mengenai betapa optimisnya anda... Maaf jika harus mengecewakan anda, namun dari 1 lulusan UI yang bertukar argumen dgn saya (tentu, tidak bisa digeneralisasikan seluruh lulusan UI, saya cuma menyebut asap-nya tanpa mengimplikasikan api-nya) ada kecenderungan untuk merendahkan orang2 seperti Alif justru di saat berusaha untuk membela kaum gay secara umum. Alangkah lebih eloknya jika tidak ada pihak yang disingkirkan, hanya gara2 mereka tidak bersuara di riset2 ilmiah atau gara2 segelintir orang di dunia sana menjadi hakim untuk menentukan siapa yang 'sakit' dan siapa yang 'waras'. Bukan begitu?
Believe it or not, jangankan sebagai psikolog, sebagai manusia kita tidak luput dari menilai dan mengkritik setiap harinya. Meski bukan berarti menghukum. Ketika saya mengatakan, orang yang tertarik pada sesama jenis tidak dinilai berdosa, tapi melakukannya adalah berdosa, apakah anda bisa mengatakan bahwa saya menghakimi meski saya sebenarnya hanya mengutip ayat2 suci? Dalam hal ini, saya sepakat dengan Popsy (Nope, saya tidak ada special relation dengan beliau meski saya sebut namanya berkali2 hehehe) ketika ia berkata
"Apakah saya sudah mengerti dasar pemikiran mereka? YA. Apakah saya masih diperbolehkan untuk mempertahankan nilai-nilai yang saya anut yang tidak sejalan dengan pemikiran semacam itu? YA."
Memang itulah inti empati. Sedangkan menyatakan kesetujuan dan ketidaksetujuan berdasar dalil agama adalah bentuk kasih sayang dan kepedulian terhadap nasib sesama saudara seiman. Bukan menghakimi, hanya memberi 'bocoran' dari Tuhan bahwa apa yang mereka lakukan itu berpotensi menimbulkan murka Tuhan. Yup, Tuhan pun bisa murka. Dan nilai penghormatan atas suatu mahluk (kalau anda bicara soal 'konsep yang lebih tinggi') haruslah selaras dengan penghormatan Tuhan atasnya. Penghormatan Tuhan tergantung apa yang dilakukan mahluk, bukan atas kondisinya. Tau darimana? Ya dari firman-Nya. Kalau tidak selaras dengan Tuhan? Ya paling banter cuma dapat penghormatan dari sesama manusia.
15 September 2008 pukul 20.47
aih Lora,
Revisimu ini malah lebih bermuatan emosi. Kenapa sih, sampai harus emosional begini?
Membaca revisi anda, saya pun bisa menulis,
"Mau argumen sampai mulut berbusa pun, orang-orang yang pro-gay tetap saja tidak akan pernah bisa berempati terhadap para homoseks non-gay, apalagi mendukungnya."
(FYI, non-gay adalah istilah yang dikenalkan oleh Joseph Nicolosi untuk menyebut para homoseks yang dengan sadar dan rela berusaha mengekang dan mengubah orientasi homoseksualnya).
Membaca revisi anda, saya pun bisa menulis,
"Dan apakah hal tersebut mempengaruhi jati diri para non-gay? Engga khan. Terus kenapa pendapat orang2 pro-gay itu harus dipikirin?”
Ketika Lock mengecam Morpheus, "Not everyone believes what you believe!" Ia hanya menjawab, "My beliefs do not require them to."
Membaca revisi anda, tahulah saya serba sedikit tentang anda. FYI, yang membedakan antara believer dan nonbeliever adalah nonbeliever dalam menentukan layak-tidaknya suatu pilihan dipilih adalah pertimbangan oneself's consent dan people's consent, sementara believer menggunakan keduanya plus god's consent. Nonbeliever hanya melihat bahwa tujuan hidup sebatas di dunia, sedangkan believer bisa melihat garis finishnya di akherat. Makanya, prinsip utama para agnostist dan atheist adalah "Lakukanlah apapun selama tidak mengganggu orang lain."
Ada banyak alasan mengapa orang tidak mendukung perilaku gay. Sebagiannya memang karena sentimen pribadi yang bersumber dari prasangka, rasa jijik, ketidakpahaman, dll. Sebagiannya karena takut akan murka Tuhan, jika sampai mendukung apa yang telah dilarang-Nya. Sebagian lainnya adalah karena peduli dan cinta pada saudaranya, khawatir bahwa ia akan melewatkan kasih sayang Tuhan dan terjerumus ke dalam murka-Nya.
Nah, revisi anda menggeneralisasi seolah2 semua yang tidak mendukung perilaku gay layak untuk anda hakimi secara emosional. Tidak bisakah kita saling mengingatkan dengan berdasar kepedulian (dan seperti yang anda niatkan) empati? Tidak bisakah kita menunjukkan kesalahan orang lain agar ia punya kesempatan untuk memperbaikinya, tanpa menyudutkannya? Haruskah kita menjadi manusia suci sebelum diijinkan mengingatkan saudara kita yang akan terjerumus? Apakah kita akan berterima kasih pada orang yang tahu kesalahan kita namun membiarkan kita hingga benar2 terjerumus? Apakah Tuhan pernah berfirman, "Biarkanlah saudaramu melakukan kesalahannya, tidak usah diingatkan agar Aku nanti bisa menghukumnya secara maksimal"?
Saran saya, jika anda mau belajar empati dan memahami perbedaan individual, mulailah belajar mendengarkan dari berbagai sisi. Jika anda hanya mendengarkan keluh kesah gay saja, tanpa mendengarkan pendapat para anti-gay dan keluhan non-gay serta berusaha mentransendensikan diri dari itu smeua dan mulai memahami mengapa Tuhan berfirman, maka status anda sebagai mahasiswa psikologi layak untuk dipertanyakan.
20 September 2008 pukul 03.47
@ Sumoneoutthere: Serius bukan. Klo aku komen diblog yg ntu emang karena link yang km kirim, aku baca sekilas pengen liat ayat apa yang dipake tu orang hahaha. Sedangkan tulisan ini aku buat karena temen laen Sum, yang birit-birit banget gara2 forum apa gitu, bukan blog, klo ga salah kaskus. Terus tiba2 aja pengen ikutan nulis, sekedar sharing ;p wekkk. Pengennya sih dilink kesemua yang lagi hot bicarain topik ini, tapi kok malas yah carinya hahahhaha. Cu.
@Daddy. Jawabannya Tidak dan Ya.
Tidak, saya tidak sangat beremosi kali ini. Hanya emosi secukupnya sebagai pendukung.
Ya, bahwa semua orang pasti memegang belief tertentu mengenai segala hal, termasuk ingin pro ataupun kontra. Benar kata Anda mengenai mulut berbusa, pernyataan itu bisa dikembalikan kepada masing-masing pihak. Namun, ada suatu kebenaran yang tidak bisa diganggu gugat, yang sayangnya kebenaran itu pun bernilai subjektif sesuai dengan kepercayaan masing-masing orang. Oleh karena itulah, ada yang dinamakan meditasi. Meditasi disini lebih saya maksudkan berhubungan dengan menelaah ke dalam hati dan diri sendiri, merefleksi diri dengan pertanyaan, ’sudah benarkah saya?’.
Sampai pada detik ini, saya suka sekali mengambil pandangan dari berbagai sisi. Seperti Tao yang mengatakan, ’Kita sering melihat pisau hanya bagian yang tajamnya saja (dan memang karena selama ini ketajaman pisau adalah yang menjadikan pisau sebagai ’pisau’), namun jarang melihat bagian tumpulnya, padahal pisau memiliki kedua bagian tersebut’.
Lalu, jika sudah melihat dari berbagai sisi yang berbeda, pastilah kita memiliki kecenderungan dengan pola dominan yang lebih sering di-ekspose dipikiran kita, pilihan kita. Inilah yang menjadikan pilihan saya untuk pro terhadap gay (dan bukan hanya gay tapi juga semua yang dulunya saya pikir ’menjijikan’, mis pengemis, perokok, poligami, dll). Mengapa? Karena saya percaya setiap manusia diciptakan berbeda-beda, saya percaya semua manusia memiliki alasan atas tingkah laku yang ia lakukan, dan yang terpenting adalah saya percaya bahwa manusia memiliki kendali atas pilihan-pilihan yang ia pilih. Saya yakin bahwa pun orang2 homoseksual sudah mengetahui pilihannya (mungkin kata ’pilihan’ disini bisa diganti ’dosa’ bagi mereka yang meng-Amini-nya), dan seharusnya mereka sudah tahu tanggung jawab untuk pilihan yang telah mereka ambil ini. Sampai disini saya bisa tersenyum lebar karena seorang manusia (gay, poligami, merokok, selingkuh, zinah, dll) bisa memilih dan menyadari tanggung jawab atas pilihannya, bukan sekedar berkoar tanpa tanggung jawab, atau lainnya. Ini menjadikan seseorang menjadi ’manusia seutuhnya’.
Kemudian pandangan tersebut saya wujudkan dalam bentuk tulisan yang telah Anda baca. Tapi tentu saja pandangan saya ini (yang saya ketahui dan yakini telah muncul sebagai pandangan dominan atas ’sudut-sudut’ lain yang terlebih dahulu sudah saya pikirkan) kemudian hanyalah merupakan satu sudut dari berlian yang indah, masih banyak sudut lain yang belum saya ketahui. Saat inilah diperlukan adanya kerendahan hati untuk menanggalkan atribut-atribut pandangan saya, dan mencoba dengan ketulusan hati melihat dari sudut lain untuk mengetahui keseluruhan berlian.
Akhirnya saya bisa melihat dari sudut lain itu. Ternyata sudut lain itu mengatakan bahwa ’sebaiknya kita mengingatkan dosa seseorang, karena kita takut akan murka Tuhan pada kita (karena tidak mengingatkan) dan pada mereka (karena ber’dosa’). Hmm, kemudian saya pikirkan lebih jauh. Jika saya melihat sudut ini sepuluh tahun yang lalu, kemungkinan saya menjadi seperti Anda yang suka mengingatkan, akan sangat, sangat, sangat besar. Tapi saya berubah. Entah ayat kitab suci yang bertentangan, entah saya yang belum cukup mengerti, atau apaun. Tapi tentu Anda sudah membaca ayat yang saya ambil (kitab suci kristiani, mungkin bagi kitab Anda berbeda). Mengenai pelacur yang ingin dirajam dan soal menghakimi selumbar dimata orang lain tanpa melihat balok dimata sendiri, namun dilain pihak ternyata kitab suci juga menyarankan untuk menyebarkan kabar gembira (yang sebenarnya berisi larangan hahaha) keseluruh dunia.
Apa jadinya jika kita mengingatkan (instead of bahasa ’menghakimi’) orang lain? ’diterima sukur, klo engga yah ga papa?’, atau ’aku sangat ingin menyelamatkanmu dari dosa, ayo dunk dengerin peringatan ini’ atau yang lebih ekstrim ’benci, orang-orang yang tidak ingin bertobat, terserah’. Well, apapun itu tidak cukup menjadikan dunia yang lebih baik. Aku tidak berandai-andai, tapi sudah cukuplah rasisme, yang kata orang2 udah dihapuskan tapi sebenarnya secara tidak langsung masih berakar cucu dihati orang2, satu agama tapi beda aliran mengatakan yahh adalah perbedaan tapi yang penting yang disembah tetep Allah yang sama (walaupun dibaliknya menjelekkan aliran lain dan berkata aliran dialah yang paling benar). Awalnya apa?
Ada dua tipe orang didunia ini, dan itu bisa dilihat dari huruf ’i’ kecil yang biasa ia tuliskan. Tipe pertama adalah orang yang lebih cenderung melihat kesalahan pihak lain tanpa introspeksi diri sendiri (coretan pada titik diatas garis horizontal huruf ’i’ lebih mengarah kesebelah kanan), sedangkan tipe kedua adalah orang yang cenderung melihat kesalahan sendiri (orang2 yang coretan titik lebih condong pada garis horizontal huruf ’i’). Apapun itu. Aku lebih memilih duniaku membantu orang lain mencapai kebahagiaannya melalui kesadaran pilihan-tanggung jawab, dibandingkan pengarahan ’dosa’ yang sebenarnya aku tidak punya hak untuk hakimi.
It may sound selfish, but realistic. Hanya orang yang merasa sakit yang membutuhkan tabib. Aku rasa pilihan homoseksual sudah cukup jelas menunjukkan kalau dia ’tidak sakit’, lalu kenapa muncul tabib-tabib kepo yang berusaha ’menyembuhkan’? Hahaha. Lucu. Terus soal homoseksual yang masih berkutat dengan guilt atas hal yang mereka anggap dosa, way to go, it is good. Good luck. Cuma hati-hati terhadap pikiranmu sendiri. Sayang aja hidup yang singkat ini jika harus dipenuhi perasaan bersalah dan menolak diri, lebih baik menerima diri. (terserah orang mo bilang lebih baik menderita didunia dibanding disurga, aku adalah tipe orang yang memegang ’Ya Tuhan, jika aku berbuat baik karena mengharap surgamu, campakkan aku ke neraka yang paling dalam, biarkan aku hidup hanya karena kemuliaan namaMu. Bukan karena surga, damn heaven. Curhat colongan: karena surga, banyak orang munafik yang memberi karena mengharap imbalan fuihh.)
Aku serius loh ketika aku bilang beli dvd bajakan itu lebih ’dosa’ (klo emang mo ngomongin konteks dosa). Kenapa sih kita lebih suka menunjuk hal ’besar’ (dalam konteks lingkungan sosial, budaya, dan agama) dan lebih menghiraukan hal ’kecil’ (dalam konteks sosial hanya karena banyak orang yang melakukannya, akhirnya kita menjustifikasi hal ’kecil-bagi-sosial’ itu). Padahal jika mau ditimbang-timbang (tentu dengan pandangan saya yang subjektif) saya rasa membeli dvd bajakan itu lebih ’dosa’dibandingkan homoseksual, karena mengambil hak milik orang lain, merugikan orang lain, dan berzinah karena memuaskan diri sendiri tanpa bertanggung jawab pada pihak yang dirugikan. Coba bedakan dengan homoseksual yang mencinta, mengetahui pilihan dan tanggung jawab, tidak merugikan pihak lain (kecuali Anda merasa dirugikan karena dengan keberadaan mereka, Anda merasa iba berlebihan karena mereka berdosa, yang menjadikan ketidak-damaian dihati).
Terima kasih atas profile pengetahuan Anda akan diri saya yang serba sedikit itu. Bukan sebagai non-believer, tapi sebagai seseorang yang tidak begitu saja konform terhadap budaya, dan bukan sekedar orang yang menjustifikasi diri seadanya hanya berdasarkan penilaian kebanyakan orang.
Saya sudah terima saran Anda. Saya sudah memberikan pandangan saya. Saya coba melihat dari berbagai sisi. Saya mencoba mencari sisi yang terbaik bagi kedamaian hati saya (subyektif). Terima kasih. Saran untuk Anda, uhmm.. Tidak de, sudah cukup, moga2 bisa menjadi sudut lain bagi diri Anda. Saya mau akhiri tulisan ini dengan salah satu koan terkenal.
Pada suatu hari seorang professor dari universitas kota datang kepada seorang biksu terkenal untuk mempelajari zen. Biksu itu dengan ramah mempersilahkan professor duduk dan menuangkan teh padanya. Biksu tersebut menuangkan teh terus menerus sampai teh tersebut meluap tumpah ke meja.
”Stop, stop. Apa yang Anda lakukan?!” Professor tersebut berteriak
“Cangkir ini adalah pikiran Anda. Bagaimana Anda ingin belajar ketika cangkir pikiran Anda sudah penuh. Kosongkanlah dahulu cangkir itu, baru datang lagi.”
Demikian professor tersebut malu dan meninggalkan kediaman biksu.
21 September 2008 pukul 05.21
Orang-orang homoseksual adalah orang-orang yang telah berhasil mengeluarkan ketidaksadarannya tersebut dan menjadi manusia yang utuh! Well, see, you are better than me! You have the masculine and feminine aspect all over in you. Isn’t that a great thing?
Wait...WHAT? Jadi kaum gay dan lesbian itu...androgini? Is that what you mean? Did Jung say that, or it's your own personal theory? I'm thoroughly confused by this out-of-nowhere statement.
Saya rasa terangsang secara seksual dengan orang yang kelaminnya sama dengan saya per se tidak otomatis membuat saya jadi manusia yang 'lebih utuh' atau 'lebih seimbang'. Based on my personal experience and observation, some gay guys still think and act extremely masculine. Never met a lesbian, sorry...
Lalu belum tentu juga saya bisa dibilang 'mengekspresikan ketidaksadaran keperempuanan saya' hanya karena saya suka laki-laki. IMHO, ide itu justru malah semakin menegaskan kalau perempuan itu NORMALnya (in their unconsciousness) ya suka sama laki-laki, bukan? ^^;
Dan...itu membuat mereka lebih baik daripada orang heteroseksual? My God, betapa ketinggalan zamannya saya; saya kira selama ini kita masih memperjuangkan soal 'kesetaraan', 'keadilan', 'non-diskriminasi', dan saudara-saudaranya. Nggak nyangka sekarang kita sudah beralih ke GLBT superiority ya?
22 September 2008 pukul 04.52
@Popsy: Mengapa Anda mengatakan LGBT itu superior? Tulisan saya hanya ingin mengambil sudut pandang lain. tempat dimana LGBT 'lebih dianggap'.. Yes, Jung did say that.. search for it!
Dan satu lagi mengapa saya berbicara seperti itu, begini ceritanya.
Pada suatu hari saya baru saja pulang dari kelas meditasi. Ada seorang ibu2 bersama suaminya mengantar saya pulang. Di mobil kami berbincang. Saya menunjukkan keinginan saya untuk mengambil skripsi mengenai LGBT, lebih tepatnya seorang ibu yang selingkuh dengan seorang wanita (tapi ga jadi hehe). Lalu spontan saja teman saya yang seorang ibu itu (yang juga merupakan konselor spiritual) mengatakan bahwa dia juga memiliki klien yang selingkuh dengan wanita dengan alasan bla,bla,bla.
Pointnya adalah disini: ia mengatakan bahwa di beberapa budaya (dia menyebut nama dewa-nya cuma saya lupa), dewa itu digambarkan Androgyn, dan dimana praktek homoseksual (ada disuatu daerah juga di Indo - saya lupa) itu justru dianggap sebagai hal yang bisa memunculkan ke-androginitas-an seorang manusia. Menjadi manusia yang utuh. Dan tentu saja bukan berarti Anda harus menjadi seorang gay dulu loh untuk menjadi manusia yang utuh. ini hanyalah perspektif lain.
Lalu ia menyarankan buku The Tao of jung, katanya sih buku lama n mao dipinjemin ke saya tapi lom sempet2 ketemu lagi.
Ini adalah perspektif lain. Sudut pandang lain yang coba saya beberkan. Pada awalnya pun saya kaget, karena mereka bisa mengambil sudut pandang yang sebelumnya belum pernah sedikit pun terlintas dalam benak saya.
To see from other perspective, or to manipulate own perspective by saying 'there is no other' or 'this only one is truth'. We almost forget that our perspective has been blend with the society's which we tried to conform. Astray in the stream of the 'true-illusion-kind of humanity'
24 September 2008 pukul 05.21
@lora:
Because you said, and I quote again:
Orang-orang homoseksual adalah orang-orang yang telah berhasil mengeluarkan ketidaksadarannya tersebut dan menjadi manusia yang utuh! Well, see, you are better than me! You have the masculine and feminine aspect all over in you. Isn’t that a great thing?
Bukannya itu pada dasarnya mengatakan orang homoseks lebih baik dari orang heteroseks (assuming you're mainly heterosexual) karena mereka androgini (dan androgini itu adalah hal yang baik)?
Ok, mungkin lebih tepatnya itu bukan pendapat anda pribadi, tapi menurut si penganut budaya yang bersangkutan(kalau dari cerita si ibu itu pada anda). Ya, itu adalah perspektif yang lain dari masyarakat yang lain dengan budaya yang lain (kalau saya nggak salah, salah satu suku pedalaman Bugis punya 5 'gender', how cool is that?!). Tapi itu juga bukan berarti semua perspektif punya nilai kebenaran moralitas yang setara dan bebas kritik. Just saying from my perspective... ;)
Oh, dan 'perilaku homoseksual' (kalau melihat istilah 'praktek homoseksual' dari cerita anda) juga setahu saya tidak begitu saja bisa disamakan dengan 'orientasi homoseksual'. Beberapa binatang, misalnya, menampilkan perilaku homoseksual untuk menyelesaikan masalah sosial di kelompoknya tanpa benar-benar menjadi homo tulen. Dan ada beberapa budaya di mana perilaku homoseksual terbatas bagi kalangan tertentu atas alasan khusus (warok dan gemblak-nya?) dimaklumi, tapi orientasi homoseksual secara umum diharamkan.
28 September 2008 pukul 21.29
dear lora,
saya menulis komen yang kesekian tidak bermaksud berdebat, karena saya bukan tipe orang yang suka dan mampu berdebat.
anda mungkin merasa bahwa emosi anda lebih turun, tapi saya lihat itu lebih karena anda memproyeksikan diri anda ke figur loki yang berapi2 membela temannya, dalam bingkai cerita yang seolah2 tidak ada kaitannya dengan anda. dari situlah saya merasakan muatan emosi yang besar, di antaranya menghakimi mereka yang tidak mendukung adalah karena 'rasa iri.' my god, kami pernah mengingatkan seorang rekan kerja yang pacaran berlebihan sehingga dicela oleh satpam kompleks. jawaban beliau adalah, "kalian itu cuma iri..." it's so cliche.
tujuan utama mengingatkan sesama, dengan acuan firman tuhan, sebenarnya yang paling pokok adalah karena tuhan memerintahkan hal itu, sehingga ketika kelak menghadap tuhan bisa dipertanggungjawabkannya. pahala manusia, jika ditimbang dengan nikmat yang sudah dikaruniakan tuhan, tidak akan cukup untuk membeli tiket masuk ke surga, atau menyuap penjaga neraka agar bisa keluar. itu semua semata2 karena welas asih dan penghargaan tuhan atas apa yang sudah dilakukannya di dunia. namun demikian, itu tidak membenarkan semua perilaku yang dipilih oleh manusia, sehingga tidak tepat jika anda mengutip doa rabiatul adawiyah. sesufi2nya dan secinta2nya beliau kepada tuhan, beliau tidak akan pernah melonggarkan aturan tuhsan atau membuat aturan sendiri yang bertentangan dengan tuhan yang disembahnya.
demikian pula ketika anda mengutip kisah yesus dan wanita pezina. sikapnya yang menantang para imam agar bercermin dulu sebelum menghakimi bukan berarti bahwa ia oke2 saja atas perzinahan atau hukum tidak usah ditegakkan, karena di ayat lain ia berkata bahwa ia turun bukan untuk menghapus taurat melainkan menggenapinya. padahal taurat penuh berisi hukum, di antaranya mengenai perzinahan. kejadian itu adalah siasat para imam untuk menempatkan yesus dalam dilema, "jika ia melepaskan wanita itu, maka ia melanggar ucapannya bahwa ia menggenapi taurat, tapi kalau ia hukum berarti menyalahi ajaran cinta kasihnya." maka dibangunlah cermin agar terbongkarlah tipu daya para imam tersebut.
anda bilang sudah melihat berbagai sisi, oke. itu bagus. cobalah sekarang melihat perjuangan kaum non-gay dari sisi psikologi aliran ketiga, jangan freud dan jung doank. aliran psikologi kan banyak. di antara mereka banyak yang berjuang tanpa merasa bersalah karena mereka yakin bahwa mereka tengah melakukan hal yang benar di mata tuhannya. jadi, untuk apa merasa berdosa?
sungguh baik jika orang bisa mengambil peran androgini, tapi tidak berarti bahwa yang feminin dan maskulin saja kurang baik. androgini pun tidak berkonotasi biseksual apalagi homoseksual. yang terbaik adalah apabila orang bisa mengambil keputusan melampaui nafsu jasmani dan duniawinya (atau di agama lain, kedagingannya). itu dalam agama kami merupakan inti dari kecerdasan transendental, yaitu kemampuan untuk melihat di balik ilusi duniawi dan merencanakan kehidupan setelah mati. kemampuan ini menjadikan mereka seringkali mengambil keputusan yang oleh kalangan sekularis dan positivis dinilai absurd, "dikasih yang mudah malah cari yang susah."
soal gay yang sadar pilihan... honey, sebagian gay menyadari dan mengakui bahwa banyak agama menilai pilihan perilaku mereka benrilai dosa, tapi tak satupun yang menghayatinya sebagai dosa. well, ada beberapa yang kemudian mengantar mereka pada depresi, karena mereka terombang-ambing antara dorongan hasrat dan kesadaran relijiusnya. tentu solusi untuk non-gay bukanlah "terimalah dirimu apa adanya, kamu ini baik dan normal, jangan merasa bersalah, mereka semua iri padamu, bisanya nunjuk2 doang," melainkan "manusia memang tempatnya salah dan lupa, namun ampunan tuhan melampaui semua dosa manusia, berusahalah sungguh2, seburuk2nya orang yang jatuh adalah orang yang tidak mau bangkit lagi. jadikan ini ladang ibadahmu."
btw, istilah 'penghakiman' yang anda pakai, sebenarnya bisa diluaskan bukan hanya ke punishment saja, namun juga reward. dalam hal ini, mereka yang sepakat dengan anda, anda hakimi dengan pernyataan "mencapai konsep yang lebih tinggi." yang btidak sepakat anda bilang "kalo masih punya hati." psikologi idealnya memang netral, namun carl roger yang terkenal dengan client centerednya pun terekam menghukum pernyataan2 klien yang tidak sependapat dengan filosofinya dan mereward pernyataan2 yang sesuai. FYI, terakhir saya cek, saya masih punya hati dan difungsikan cukup sesuai dengan amanah sang pembuatnya. bagaimana dengan hatimu?
sungguh baik jika anda mau membimbing orang untuk menyadari ketersediaan pilihan dan bertanggung jawab atas pilihannya, namun mohon maaf, saat ini saya tidak melihat anda sudah menunjukkan pilihan2 yang tersedia. anda baru berkutat pada betapa oke dan baiknya jadi gay, tanpa menggarisbawahi pilihan lain yang juga bisa ditempuh tanpa selalu diikuti dengan rasa bersalah. ini paralel dengan paradoks gerakan gay, di satu sisi mendesak masyarakat menerima mereka atas nama toleransi, demokrasi, ham, dll, namun di sisi lain sulit menerima pilihan sebagian dari mereka untuk kembali menepati fitrahnya.
saran saya, jika anda memang pro terhadap gay dan gerakannya, tidak perlu buang2 waktu dan energi untuk justifikasi mengapa anda demikian. karena jika alasan anda benar, maka idealnya anda memberikan porsi yang seimbang untuk pilihan lainnya.
8 Oktober 2008 pukul 23.32
@Daddy (dan lainnya):
Terima kasih atas komen yang diberikan, atas pendapat yang tidak dilandasi untuk berdebat (karena aku pun sebenarnya tidak bisa dan tidak suka berdebat). ^^ Saya rasa saya bisa menerima komen Anda sebagai bagian dari perbedaan individu yang menjadikan jendela mata saya berbeda dengan jendela mata Anda, yang demikian juga mengakibatkan bedanya kita dalam melihat suatu fenomena yang sama.
Saya bisa menerima semua yang Anda katakan dalam komen ini, karena saya sudah cukup mengenal apa yang biasa masyarakat pikirkan mengenai gay (yah saya kan bagian dari masyarakat yang seharusnya juga memiliki pola pikir yang sama). Tapi itulah yang terjadi, aku mencoba melihat pisau bukan hanya dari sisi tajamnya. Sisi tajam sudah biasa dilihat, dikritik, dsb. Saya tidak suka hal yang biasa hahaha, jadi saya coba melihat dari sisi tumpul. ^^ Saya rasa pandangan saya (dan ‘mungkin’ progay lainnya) dalam sisi tumpul ini sama logis dengan pandangan Anda (dan ‘mungkin’ anti/non gay lainnya) mengenai sisi tajam, karena sebetulnya dari keseluruhan tumpul dan tajam ini adalah pisau sesungguhnya. Sangatlah tidak adil jika kita melihat seorang ibu yang galak hanya dari ‘marah’nya saja tanpa melihat ‘cinta’ dari galaknya itu, kemudian men-capnya dengan ‘ibu yang buruk’.
Saya sangat senang dengan banyaknya orang yang mengkritik the way I look the world (dalam hal ini mengenai gay). Yah hanya mencoba memberikan perspektif berbeda dari warna-warni sesungguhnya dunia. Tapi in the end, seperti juga yang Dee Lestari katakan dalam blog-nya (search aja), kita semua melihat dengan kacamata dan kacahati masing-masing. Tambahan dari Lora: ya, tinggal lihat saja hasil dari kacamata/hati pribadi, apapun itu tujuannya. Klo aku pribadi, my concern is the better peace world, love. Bagaimana dengan kamu? Mungkin dunia yang lebih baik sesuai keinginan Allah. ^^
O iya satu lagi hampir lupa. Maafkan atas segala ‘emosi’ yang mungkin terlihat dari tulisan2ku. Mungkin aku memang beremosi tanpa kusadari ketika membicarakan tuhan, alien, manusia,dsb. Pada topik2 itulah aku tertarik, apalagi tentang dosa haha. Semangat banget, klo udah malam ngomong begini malah ga tidur2. Apalagi klo ngomong langsung, pacarku aja sering bilang aku kaya orang marah2. Padahal ga maksud, cuma ingin menunjukkan passion atas topik yang dibicarakan aja. Menarik, aku suka hehe.
Aku ingin menutup komen aku kali ini dengan curhat colongan yang lucu sekaligus luar biasa tentang gay tentunya (karena aku baru pertama kali benar-benar mengalami dalam kehidupan nyata, bukan dari pengalaman orang lain):
Kesempatan liburan kemarin aku habiskan dirumah nenek aku di Bandung. Sedari dulu rumah itu memiliki anjing peliharaan yang bisa dikatakan cukup banyak, sempat tercatat 5 ekor. Namun sekarang ini hanya tinggal 2 ekor, itupun sudah generasi ke sekian dari Nesti (si anjing poodle paling pintar pertama yang dibeli di keluarga itu). Nah, kenapa nih sekarang tingal 2 ekor, ga hamil2 lagi (padahal aku udah ngetake minta anaknya 1)!
Hoaaa, usut punya usut ketika ditanyakan kepada sodara aku. Si anjing yang namanya Poka itu ternyata LESBIAN! (Rumah Bandung selalu memelihara anjing wanita saja). Awalnya aku tidak percaya, I was so surprised althou I knew homosexuality do exist in animal. ‘Iya, betul. Coba aja lu pikir kenapa si Poka ga hamil-hamil. Dia tuh galak tau klo ada anjing cowo yang dateng ke rumah. Di gonggongin sia, dikejar sampe lari’ kata sodara aku dengan logat Sunda yang kental. ‘Udah gitu klo musim kawin, si Milo (anjing tekel satunya lagi yang dipelihara) selalu dinaikin terus digesek-gesek. Anjir sia jangan sampe si Milo ketularan. Terus lu juga bisa denger napasnya si Poka kaya birahi banget’ Hahahaha. Lucu!
Masih dalam keadaan ga percaya, tersenyum, dan berpikir. Aku tidak tahu memang kenapa Poka bisa seperti itu, anjing gitu loh bukan manusia yang bisa terpengaruh lingkungan. Lagipula sebelum Poka lom ada tuh sejarah anjing lesbi dirumah itu, soalnya rumah Bandung itu udah terkenal banget dikalangan anjing jantan klo ada banyak anjing betina yang caem2 menunggu untuk kawin, jadi pas musimnya, pada gonggong2 tuh dari luar rumah, ‘neng geulis sini ama mang aja’ pikir para anjing jantan. :P wakakaka.
Aku hanya terdiam dan berpikir mengenai keragaman ciptaan. ^^
17 Desember 2008 pukul 02.28
wah, maap maap, saya gak baca semua komen, malas euy, panjang panjang, hehehe... saya mo dapet tanggapan langsung aja dari lora.
dari yang saya rasa, saya cukup empati dengan semua orang, orang terjahat dan terburuk yang pernah saya tau sekalipun. tapi tetep, itu gak bikin saya menganggap perbuatan mereka baik. mungkin kita harus tau KENAPA mereka ngelakuin kejahatan, dan berusaha MENGERTI untuk mereka. tapi bukan berarti berpikir, "oke, silakan lanjutkan perbuatan anda..."
oke oke, saya bukan psikopat, bukan homoseksual, bukan pengemis --mungkin ^^'--, bukan perokok, bukan alkoholic, bukan seorang seks-bebas-ers, bukan orang yang selingkuh --aaaammiin--, tapi sejauh ini saya udah sesering mungkn MERASAKAN, kenapa mereka begitu, dan coba MEMBAYANGKAN seandainya saya begitu (menjadi psikopat, homoseksual, pengemis, perokok, alkoholic, seks-bebas-ers, selingkuh-ers). tapi tetep, itu bukan sesuatu yang BENAR dan dapat DIBENARKAN.
saya punya DOSA saya sendiri, dan bukan berarti saya akan bilang bahwa DOSA SAYA adalah benar dan wajar dilakukan, hanya karena saya melakukan DOSA YANG SAMA. dosa tetep dosa, saya sepakat itu, dan saya menyalahkan diri saya sendiri setiap saya berbuat DOSA, bahkan dosa yang berulang. saya gak jarang mencari pembenaran untuk dosa yang saya lakukan, tapi klo mau pake hati yang terdalam, tetep terlihat dan terasa bahwa yang salah tetep adalah salah, dan DOSA adalah DOSA. dan pembenaran yang saya lakukan adalah SALAH.
klo seandainya setiap orang diam, gak menegur orang lain di sekitarnya yang berbuat dosa, trus bagaimana dunia ini bisa jadi lebih baik??? seorang pembunuh, yang udah tobat, gak akan ngingetin orang lain yang juga pembunuh untuk bertobat. di dalam benaknya, "ah, ngapain juga ngingetin, toh saya dulu pembunuh...". what the ****??????
sebagai sesama manusia, udah seharusnya kita saling mengingatkan --dan bukan men-judge!!! saya sepakat sepenuhnya!!!--, dengan harapan, dunia akan menjadi lebih baik. bukan malah diam, dan membiarkan orang melakukan kesalahan dan perbuatan dosa, dengan memakai istilah TOLERANSI. what kind of tolerance is that????? dan penegakan hukum tetep harus dilakukan. klo semua pake dasar saling menghormati --memakai kedok HAM bahkan...--, hancurlah dunia ini, merajalela lah kejahatan dan kebusukan di dunia ini. dan bukankah begitu yang terjadi di INDONESIA?? yang satu korupsi, yang lain gak akan ngingetin karena juga korupsi. benarkah yang kayak gitu???
berusaha MEMAHAMI dan melihat dari sisi orang lain, bukan berarti MEMBIARKAN apalagi MEMBENARKAN kesalahan yang dilakukan orang tersebut. klo ditanya, mau atau nggak saya dikritik, diingatkan, atau bahkan dihujat atas kesalahan dan dosa saya, saya akan terima. karena itu adalah sesuatu yang SALAH, dan sesuatu yang SALAH harus DIPERBAIKI. okelah, menghujat bukan opsi yang bagus ^^'
mungkin segitu aja pendapat saya. HOMOSEKSUAL di mata saya sama dengan keburukan2 yang lain, kayak psikopat, klepto, phedophil, atau apa pun yang berhubungan dengan NALURI seseorang yang 'sayangnya' berbeda dengan orang lain --bahkan mengarah ke hal2 negatif--. tapi apakah seandainya sekarang saya mendadak jadi homoseksual, seorang psikopat, klepto mania, lelaki phedophil --saya berdoa, semoga nggak ^^'--, lalu saya akan bilang klo itu benar???? nggak.
semoga kita bisa saling mengingatkan, tapi semoga kita bisa tetap saling menghargai dan menghormati, aaaaammiin.
salam
21 Desember 2008 pukul 06.10
^^ Halo m.a.n.g.o, terima kasih atas komentarnya.
Saya setuju dengan apa yang Anda katakan mengenai mengingatkan orang lain dan bukan men-judge. Saya sendiri terus merevisi pemikiran saya mengenai hal tersebut seiring berjalan dengan waktu dan bertambahnya luasnya pandangan melalui dialog dengan orang lain.
Ada tiga hal yang ingin saya ’jawab’, tapi saya hanya memaparkan dua disini. Yang pertama mengenai dosa (pembahasan membosankan hingga saya pikir jika Anda tidak memiliki cukup waktu, Anda bisa men-skip poin ini). Dan yang kedua mengenai MENGINGATKAN orang lain.
1) Pertama adalah masalah dosa – fuh I hate talking about religion :P haha. Maafkan saya jika saya ingin membantah setiap pernyataan mengenai ’dosa’ yang ada, karena tidak ada seorangpun yang bisa memberikan dengan mantap batasan-batasan dosa -- semoga bisa dijadikan dialog dari sudut pandang yang berbeda dan mencoba mengkritisasi ’dosa’ ^^.
YA, dosa adalah setiap tindakan yang bertolak belakang dengan firman Tuhan. Tapi saya sedikit menggarisbawahi peran agama dalam memandang dosa, melalui pertanyaan: Benarkah semua hal yang dikatakan sebagai dosa merupakan ’dari Tuhan’ dan tidak ada campur tangan manusia (oknum penting politik agama) dalam mendefinisikannya?
We do recognize ’THOU SHALT NOT KILL!’ sebagai salah satu dosa! SANGAT jelas dari TUHAN! Tapi ternyata membunuh diperbolehkan, saat [jika/ketika/kalau/bla bla bla yang ’mungkin’ berhubungan dengan kepentingan politis tertentu]..... (bisa diisi sendiri sesuai dengan kepercayaan serta SEJARAH agama masing2). Saya tahu kalau seorang agamawan – pada awalnya – tidak diperbolehkan untuk menikah karena mengabdikan hati dan tubuh hanya untuk Tuhan, tapi [saya kurang tahu juga karena kepentingan pribadi atau hal lainnya yang merupakan pembenaran dari kepentingan pribadi] Martin Luther kemudian setelah menggebrak dengan gerakan protestanism, mengijinkan pendeta mengambil istri. Boleh ga sih kalau bukan mukhrim itu bersentuhan? Perceraian dari apa yang telah disatukan oleh Tuhan?
Apakah dosa sudah menjadi bagian dari politisme kepentingan dan kemajuan jaman – dengan kata lain dosa tidak lagi dikatakan dosa ketika berada diwaktu tertentu dan bukan disetiap waktu (dengan kata lain relatif dan bukanlah sesuatu hal yang mutlak?? Tergantung kepentingan pihak tertentu?).
2) Itu yang pertama ;). Yang kedua, dari komen Anda bisa saya simpulkan pentingnya ’NIAT’ dalam mengingatkan dan bukan untuk men-judge. Sehingga seseorang harus menelaah kembali niat mereka ketika mereka mau mengingatkan orang lain atau apakah sebenarnya mereka ingin men-judge – melalui mengingatkan?. Dan betul sekali ’hancurlah dunia ini jika tidak ada yang saling mengingatkan dan semua orang bisa melakukan kejahatan apapun yang dia inginkan’. Saya pribadi memunculkan sebuah pertanyaan sakral lain yang sering tidak diperhatikan oleh orang-orang yang sesungguhnya memiliki niat baik untuk MENGINGATKAN.....: What is happening with the world? People kindly reminding others to be good, but the world seems not getting better. There MUST be something WRONG! Dan sesuatu hal yang salah itu berhubungan dengan cara. Dengan CARA apakah seseorang seharusnya mengingatkan orang lain??
Bidang psikologi selama bertahun-tahun sudah menemukan bahwa punishment sama sekali tidak memiliki efek positif dari perubahan tingkah laku! Punishment bisa berupa pengasingan [tidak ditemani], penghujatan, mendeskriditkan, pelarangan, dsb. Pernahkah Anda menemukan seorang anak yang dibilang ’Jangan main pisau’ eh dia malah mainin? Umat manusia memiliki sifat unik yang luar biasa ’batu’. Hahaha. Dan kita tahu ’labeling’ [dalam hal ini label seseorang sebagai gay/lesbi] tidak membantu seseorang keluar dari masalahnya, melainkan semakin terpuruk dalam label yang ia miliki – misalnya seorang anak yang dibilang ’pembohong’ karena berbohong sekali, sangatlah mungkin untuk mengulang perilaku bohongnya, ia menginternalisasi perkataan labeling seseorang sebagai pembohong.
Nah, ini sangatlah penting m.a.n.g.o karena ketika kita pun memiliki NIAT yang benar untuk mengingatkan tapi menggunakan cara yang salah, tetap saja ’hancurlah dunia ini! Karena saat kita mencoba mengingatkan orang lain dengan tulus, saat kita menghukum mereka, bukannya mereka tidak lagi mengulang kembali perilaku buruk tersebut eh2 malah menjadi-jadi!’ (sangat disayangkan).
Jadi bagaimana dunk seharusnya kita – dalam mengingatkan? Masakkan kita diam saja?? Saya terus terang juga belum menemukan jawabannya! :( Saya terus berpikir, karena saya pun bukan orang yang sempurna untuk tidak memiliki pikiran negatif sedikit pun terhadap orang lain yang memiliki nilai berbeda dengan diri saya. Dalam memikirkan jawaban tersebut, suddenly pop-up suatu konsep dari pikiran saya. Konsep yang juga sering aku utarakan. Konsep yang sangat klise, namun merupakan kunci utama yang dapat memecahkan masalah di dunia ini. Tebak yah :D Hehehe.
I’d like to talk about it further with you. Love this conversation, thanx. ;)
Lora