Psikologi Indonesia Goes Blogging

Blog yang berisi mengenai semua hal yang berkaitan dengan Psikologi ini bertujuan untuk memberikan edukasi mengenai Psikologi kepada masyarakat Indonesia dalam bentuk bacaan ringan.


Teori mengatakan bahwa dalam berkomunikasi, kita cenderung untuk mengamati gerak-gerik, bahasa tubuh, dan nada lawan bicara kita daripada mendengarkan apa yang dikatakannya. Saat lawan bicara kita mengatakan, "Aku tidak marah!", kita tidak akan semudah itu percaya. Nada suara, ekspresi wajah, dan gerak tubuhnyalah yang memberikan kita kesimpulan. Namun, pada pembicaraan via email atau yang sejenis (dimana kita hanya bisa melihat huruf dan kata-kata), penambahan icon emosi (emoticon) berguna untuk menyampaikan maksud dari pengirim pesan. Sejauh mana alat bantu emoticon berpengaruh pada kita?

Ternyata, kedua hal tersebut memiliki pengaruh yang berbeda pada penerima dengan kepribadian yang berbeda, menurut Byron dan Baldridge (2007). Pada penerima emoticon yang berkepribadian ekstrovert dan memiliki kendali emosi yang kuat, akan menyukai pesan yang disampaikan dengan emoticon yang tepat. Namun sebaliknya, pada penerima yang berkepribadian introvert dan memiliki emosi yang labil, emoticon tidak akan memiliki efek apa-apa, bahkan membuat penerima tersebut tidak menyukai pesan yang disampaikan.


5 komentar

  1. Anonim  

    Kalo gak salah (banget), ada anak Psiko UI'05 yg ngambil topik ini sbg bahan eksperimen di -tentu saja, kuliah eksperimen?
    Ehm, kalo ga salah inget (lagi), ada anak sastra yang bilang kalo pernah ada yang menganalisa macam2 emoticon yg jadi "bahasa gaul" texting di Jepang sana..?
    Mungkin admin blog ini bisa minta mereka "publish" hasil penelitian mereka di sini? Sekedar mengenal lebih jauh topik ini ajah... :')

  2. Anonim  

    gue sebagai pecinta dunia per MSN-an dan menggunakan media tersebut sebagai sarana komunikasi utama melepas kangen (cailah)..malah baru tau kalo emoticon ada hubungannya sama personalty..the fact is true coz in extrovert (ME) the use of them even can trigger certain emotions, so it is not just about strengthening guys..mnurut gue si gitu..kalo yang introvert gak ngaruh dong yah?

  3. kemarinsore  
    Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
  4. kemarinsore  
    Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
  5. kemarinsore  

    jujur, gue gak setuju kalo extrovert dibilang lebih dapat mengendalikan diri daripada introvert, dan gue juga gak setuju kalo introvert dibilang lebih labil secara emosional daripada extrovert,

    karena, pada kenyataannya, orang yang extrovert lah yang cenderung lebil labil secara emosional dan cenderung tidak dapat mengendalikan diri,

    hal ini disebabkan karena extrovert lebih membutuhkan kehadiran orang lain untuk mengendalikan dirinya, sedangkan introvert lebih mandiri dalam melakukan hal ini.

    satu lagi tambahan penting,

    kemungkinan besar emoticon bahkan diciptakan oleh mereka yang introvert, yang lebih banyak memiliki teman di dunia maya / cyber dibandingkan pada kenyataannya,

    so, isn't that so make sense?

    that is why emoticon used to control the expression of emotions so that other people in the cyber world could know how does the feelings while they are communicate in cyber world...

Posting Komentar

User Tracking Widget

usability studies by userfly

Psi! Goblog

Psikologi Indonesia Goes Blogging

Recent Posts

Recent Comments

Tags

^Lora^ (15) abu ghraib (1) anak (1) analisa (2) analitis (1) asal mula (1) Atheist (1) bahagia (2) bedah film (2) belajar (1) Binatang (1) budaya populer (1) bunuh diri (1) calling (1) career (1) carl rogers (1) cinta (1) Dalai Lama (1) daniel h. pink (1) dewasa (1) ebook (1) edukasi (1) eksistensial (2) eksperimen (3) ekspresi (1) empati (2) erotomania (1) etiologi (1) filosofi (2) Freud (3) ganteng (1) gardner (1) Gay (4) Gender (1) grand indonesia (1) graphologi (1) Green Psychology (1) grimace project (1) hamil (1) happiness (1) heroism (1) hidup (1) homoseksual (4) hubungan romantis (1) identifying (1) indonesia (1) industri dan organisasi (1) insting (1) jerawat (1) job (1) Jung (1) Juno (1) kamar (1) karir (4) Kebahagiaan (3) kelompok (1) Kematian (1) kepahlawanan (1) kepercayaan diri (1) Kepribadian (5) kesetiaan (1) Khrisnamusti (1) kognitif (5) komitmen (1) konformitas (1) Krisis identitas (1) Kung fu Panda (1) listen to yourself (3) lucifer effect (1) makanan (3) meja kerja (1) mind reading (2) Mitos (1) Music dum-dedumtumtum (1) nasionalisme (1) orang tua (1) orgasme (1) otak kanan (1) otak kiri (1) pacaran (1) panggilan (1) Peace (2) pekerjaan (4) pembunuh berantai (1) pemilu (1) pendidikan seks (3) perempuan (1) perkembangan teknologi (1) pheromone (1) Philip Zimbardo (1) poligami (1) Prejudice (1) presiden (1) profil (1) proses (1) Psikoanalisis (4) psikologi (24) psikologi lingkungan (1) psikologi pendidikan (1) psikologi seksual (1) psikologi transpersonal (1) psikopat (4) psikopatologis (3) psikosis (3) psycamp (1) Realita (1) remaja (3) review buku (2) review film (2) revolusi (1) sejarah (1) seks (2) self-help (1) selligman (1) sintesa (1) sintesis (1) Sosial (4) sosiopat (2) spiritual (3) stalking (1) stereotipe (1) steve jobs (1) stres (1) subjective well-being (1) Tao (2) teknologi (1) Tidur siang (1) tinggi (1) Tips (1) totlol (1) tulisan (1) video (1) vygotsky (1) wajah (1) wanita (1)