Psikologi Indonesia Goes Blogging

Blog yang berisi mengenai semua hal yang berkaitan dengan Psikologi ini bertujuan untuk memberikan edukasi mengenai Psikologi kepada masyarakat Indonesia dalam bentuk bacaan ringan.

Kemarin ini, saya menghadiri pernikahan seorang teman yang menyatukan dua kebudayaan yang berbeda: Jawa dan Sunda. Dalam sebuah pernikahan adat Jawa yang dihadiri oleh keluarga Sunda, terdapat beberapa perbedaan seperti cara berperilaku, cara bertutur kata, cara berpikir, cara menghadapi masalah, dan lainnya. Yang Sunda merasa tersinggung dengan sikap Jawa yang tidak berbasa basi, yang Jawa merasa aneh dengan Sunda yang terlalu banyak berbasa basi. Yang Jawa duduk tegap dan berbicara dengan bahasa yang dijaga, yang Sunda duduk santai sambil melontarkan gurauan ke orang tua. Yang Jawa memakai baju muslim, yang Sunda memakai kebaya dan celana jeans. Yang Jawa mengutamakan bibit, bebet, dan bobot, yang Sunda mengutamakan latar belakang materi seseorang. Kata orang Jawa, yang penting cinta dan kasih dari pasangan. Kata orang Sunda, materi itu penting karena perempuan butuh jaminan hidup dan tidak bisa naif hanya bermodalkan cinta.

Kemudian mereka saling mengumpat, "Dasar Jawa!" dan "Dasar Sunda!"
Hanya dua kebudayaan yang menghuni pulau yang sama saja, sudah ada pertengkaran kecil yang membawa nama budaya. Lalu apa kabar Indonesia yang konon katanya punya banyak kebudayaan? Saya teringat dengan beberapa isu etnis yang menjadi topik utama di media, salah satunya Sampit.

Etnik-etnik yang terpisah secara geografis dan sosial-budaya yang berbeda, mempunyai cara dalam mengembangkan pengalaman psikologis masing-masing, yang pada akhirnya menghasilkan identitas etnik masing-masing. Seperti yang sudah saya kemukakan di atas, pulau Jawa yang terdiri dari Jawa (Jawa Tengah, Jawa Timur, Yogyakarta, Solo, dan lainnya) dan Sunda (Priangan, Banten, Cirebon, dan lainnya) serta kelompok kecil seperti Madura dan Betawi saja sudah menimbulkan percekcokan.

Selalu ada prasangka yang diyakini benar dalam menilai orang lain. Ini disebut dengan stereotype. Dimulai dari gambaran seseorang tentang orang lain (personifikasi). Personifikasi adalah perasaan, sikap, dan konsepsi kompleks yang timbul karena mengalami kepuasan kebutuhan atau kecemasan. Personifikasi-personifikasi yang dimiliki sejumlah orang disebut stereotype. Ini adalah konsepsi yang diakui bersama, yaitu ide-ide yang diterima secara luas di antara anggota masyarakat dan diwariskan dari generasi ke generasi.
Mengubah stereotype tidaklah semudah membalikkan telapak tangan karena ini sifatnya turun temurun dan mengakar di pikiran individu. Dan individu sadar akan hal itu, namun ia menyakini apa yang dipikirkannya itu benar. Apalagi jika orang lain berperilaku seperti stereotype yang ia akui, maka ia merasa dikuatkan. Hanya karena perilaku satu orang, ia menyamaratakan kepada golongannya.

Ambil contoh kasus besar yang sudah ada pertumpahan darah seperti kasus Sampit antara Madura dengan Dayak.

Proses saling sangka ini menghambat akulturasi bangsa, yang konon disebut Bhinneka Tunggal Ika (bagi saya, ini konon, karena sekarang sepertinya sudah diragukan keberadaannya). Pemerintahan Indonesia ketika orde baru meneriakkan semangat sama-rata-sama-rasa demi persatuan dan kesatuan. Bahkan slogan Bhinneka Tunggal Ika yang berarti walaupun berbeda-beda tetapi tetap satu jua. Namun pasca reformasi, rupanya slogan Bhinneka Tunggal Ika hanya isapan jempol belaka karena untuk sebuah kebijakan penyeragaman oleh negara, sebuah sistem kehidupan masyarakat sengaja dipaksa dan diatur. Bahkan untuk penyeragaman, harus ada penduduk yang menjadi korban, dibantai dan kepalanya diarak keliling kota Sampit. Apalagi terkait kasus dengan Madura-Dayak, beberapa sumber mencetuskan bahwa awal mula konflik ini karena transmigrasi yang waktu itu dicanangkan oleh pemerintah agar adanya penyamarataan pembangunan di semua pulau.
Sebenarnya konflik etnis sudah ada dari era pemerintahan sebelumnya namun di era reformasi kecenderungan konfliknya lebih meningkat. Setiap konflik etnik pada masa Orde Baru relatif dapat diredam. Keberhasilan menumpas setiap konflik SARA di masa Orde Baru merupakan bagian integral dari upaya mewujudkan “keamanan dan ketertiban umum” bagi seluruh lapisan masyarakat di seluruh bagian Nusantara. Ini adalah strategi utama yang diterapkan bagi rezim otoriter. Pada era reformasi, konflik bernuansa etnis/kedaerahan dan agama meningkat. Hal ini lebih disebabkan akumulasi ketidak-adilan dalam proses politik dan distribusi kekuasaan serta ketidakadilan dalam menikmati hasil pembangunan.

Dalam kasus Madura-Dayak, rupanya penduduk Madura lebih unggul satu langkah daripada orang Dayak di sektor informal sehingga menggusur penduduk asli keluar dari pekerjaannya. Sebenarnya mereka tidak unggul - seperti kriteria Nietzsche bahwa seseorang yang unggul harus memiliki kecerdasan, kekuatan, dan kebanggaan - karena dalam kecerdasan, mereka sama-sama rendah. Rupanya orang Madura yang dahulu menjadi pekerja kasar dan menderita, kini bisa lebih sukses. Ini hampir serupa dengan filsuf yang dikagumi Nietzsche – Schopenhauer – yang mempunyai pandangan ‘Orang bijak menarik hikmah dari kepedihan, bukan dari kesenangan.’ Jika Indonesia melihat ini sebagai permasalahan, tetapi tidak bagi Nietzsche karena menurutnya memang seperti itulah kehidupan yang tidak menentang kodrat alam. Di dalam hidup ini yang kuatlah yang akan menang, kebajikan utama dalam kehidupan adalah kekuatan. Permasalahan Madura-Dayak bukanlah harus diselesaikan dengan jalan perundingan, pemungutan suara, tetapi melalui darah dan baja.

Bahkan, mungkin sebelum konflik terjadi, Nietzsche sudah tidak setuju dengan slogan Bhinneka Tunggal Ika karena menurutnya slogan ini hanya untuk orang-orang yang ingin bersaing, meskipun meminta perlindungan diatas haknya. Dan slogan ini tidak akan menghasilkan pemimpin yang agung. Selain itu, kritiknya mengenai kesetaraan adalah konsep ciptaan manusia yang palsu dan ujung-ujungnya merusak itu benar karena pasca reformasi banyak bermunculan konflik etnis seperti Ambon dan Poso.

Dayak sebagai penduduk lokal yang menghargai hukum adatnya. Hukum adat memegang peranan penting bagi orang Dayak. Tanah yang mereka miliki adalah warisan leluhur yang harus mereka pertahankan. Mengikuti teori Nietzsche, jika orang Dayak sungguh-sungguh hendak menjadi pencipta, haruslah lebih dahulu menunjukkan keberaniannya untuk memusnahkan nilai-nilai lama. Seseorang harus terlebih dahulu menihilkan segala nilai lama dan mempersetankan segala nilai yang sudah mantap karena nilai-nilai lama hanya akan menghalangi untuk mencipta.

Tapi, itu menurut pandangan Nietzsche. Jangan salah mengartikan untuk menghalalkan yang namanya peperangan. Entah setuju atau tidak, ini bisa dijadikan pengetahuan.
Semoga Bhinneka Tunggal Ika masih tetap ada.

2 komentar

  1. Anonim  

    Bhinneka Tunggal Ika bukanlah sekadar slogan.
    Bhinneka Tunggal Ika adalah jiwa.
    Bhinneka Tunggal Ika adalah roh.
    Ia muncul setelah melalui permenungan panjang.
    Ia muncul untuk mengakomodasi berbagai macam dinamika yang ada di dalam diri Indonesia.
    Ia adalah kebajikan lokal yang asli , berasal dan tumbuh dari nusantara.
    Ia indah.
    Tapi (berulang kali) Ia dicampakkan.
    (Berulang kali) Ia dimanfaatkan.
    (Berulang kali) Ia diinjak-injak.
    (Berulang kali) Ia ditinggalkan.
    (Berulang kali) Ia dilupakan.
    dan sekarang Ia hanya bisa tinggal dan berdiam diri di sebuah museum kosong berdebu, dan hanya dipandang sebelah mata.
    Dari Sabang sampai Merauke dirangkai dalam Bhinneka dan disatukan dalam Ika, Indonesia.
    Ia (seharusnya dan selayaknya) tidak berada di dalam museum kosong dan dibiarkan hingga berdebu.
    Ia (seharusnya dan selayaknya) ada di dalam tiap-tiap sanubari kita.

  2. Anonim  

    "bagi orang sunda materi itu penting dan perempuan butuh jaminan hidup"

    bagi saya yg lahir di keluarga jawa ini cukup logis, namun apakah materi harus di atas segalanya??? masihkah kita harus menilai orang dari materinya? belum tentu orang yg kurang berkecukupan dari segi materi dia benar2 punya cinta yg tulus...
    Inikah penyebab mengapa masih ada orang Jawa yg mengharuskan kehati-hatian apabila lelaki jawa menjalin hubungan dengan perempuan Sunda? bahkan lebih ekstrimnya sampai melarang...

    Bagi saya cinta maupun materi sama2 penting, tapi janganlah kita terlenakan oleh salah satu dari keduanya. Ingatlah untuk hidup kita memang perlu materi, tapi apakah hidup untuk sekedar materi saja?

    janganlah kita menjadi terpecah belah, saling umpat satu sama lain, bahkan saling jelak menjelekkan antar suku. ingatlah kita masih menginjakkan kaki di tanah air yg sama: INDONESIA
    Memang tidak mudah untuk mengubah apa2 yg sudah melekat secara turun temurun, namun bukan tidak mungkin jika itu dilakukan mulai dari saat ini oleh generasi2 muda kita.

    Kalau boleh sedikit terbuka, rasanya tidak ada salahnya bila kedua belah pihak saling bertemu. Misalkan pihak A menanyakan kepada pihak B apa saja yg mereka tidak suka dari pihak A, sebaliknya pula pihak B yg penting antar pihak harus jujur apa adanya. Setelah diperoleh jawaban tersebut, hendaknya saling kemukakan alasan2 apa saja yg melatarbelakangi ketidaksukaan tersebut (yg logis tentunya dan tdk dibuat2 juga bukanlah perspeksi sepihak).
    Lantas masing 2 pihak harus bertanya pada dirinya masing2 " apa kekurangan saya?" dan segera sadarlah untuk segera memperbaikinya. terakhir, bertekadlah untuk perlahan tapi pasti meredakan konflik2 antar pihak.

    Sebagai generasi muda bolehlah kita bangga terhadap identitas suku kita, namun ingatlah mereka tetangga kita walau berbeda lagi2 tetap satu: INDONESIA
    Sudah saatnya kita MENOLAK untuk menerima warisan konflik dari para pendahulu kita. Putuskan segera rantai kecurigaan dan prasangka buruk kita, jangan sampai akhirnya kita mewariskannya kepada anak cucu kita selama kita ingin Indonesia tetap ada.

    ingatlah perbedaan suku adalah karunia Tuhan, Dialah yg menciptakan semua itu untuk saling mengenal satu sama lain, saling melengkapi dan membuat dunia ini berwarna-warni sehingga semuanya terihat begitu ceria dan hidup. Jika demikian, apakah Dia menciptakan perbedaan sebagai lahan untuk saling mencela satu sama lain, untuk saling menceritakan keburukan dan saling curiga? Semuanya pasti bilang tidak...

    mungkin hanya ini saja tanggapan saja, mohon maaf bila saya salah atau ada yg menilai saya telah melakukan pembelaan sepihak

Posting Komentar

User Tracking Widget

usability studies by userfly

Psi! Goblog

Psikologi Indonesia Goes Blogging

Recent Posts

Recent Comments

Tags

^Lora^ (15) abu ghraib (1) anak (1) analisa (2) analitis (1) asal mula (1) Atheist (1) bahagia (2) bedah film (2) belajar (1) Binatang (1) budaya populer (1) bunuh diri (1) calling (1) career (1) carl rogers (1) cinta (1) Dalai Lama (1) daniel h. pink (1) dewasa (1) ebook (1) edukasi (1) eksistensial (2) eksperimen (3) ekspresi (1) empati (2) erotomania (1) etiologi (1) filosofi (2) Freud (3) ganteng (1) gardner (1) Gay (4) Gender (1) grand indonesia (1) graphologi (1) Green Psychology (1) grimace project (1) hamil (1) happiness (1) heroism (1) hidup (1) homoseksual (4) hubungan romantis (1) identifying (1) indonesia (1) industri dan organisasi (1) insting (1) jerawat (1) job (1) Jung (1) Juno (1) kamar (1) karir (4) Kebahagiaan (3) kelompok (1) Kematian (1) kepahlawanan (1) kepercayaan diri (1) Kepribadian (5) kesetiaan (1) Khrisnamusti (1) kognitif (5) komitmen (1) konformitas (1) Krisis identitas (1) Kung fu Panda (1) listen to yourself (3) lucifer effect (1) makanan (3) meja kerja (1) mind reading (2) Mitos (1) Music dum-dedumtumtum (1) nasionalisme (1) orang tua (1) orgasme (1) otak kanan (1) otak kiri (1) pacaran (1) panggilan (1) Peace (2) pekerjaan (4) pembunuh berantai (1) pemilu (1) pendidikan seks (3) perempuan (1) perkembangan teknologi (1) pheromone (1) Philip Zimbardo (1) poligami (1) Prejudice (1) presiden (1) profil (1) proses (1) Psikoanalisis (4) psikologi (24) psikologi lingkungan (1) psikologi pendidikan (1) psikologi seksual (1) psikologi transpersonal (1) psikopat (4) psikopatologis (3) psikosis (3) psycamp (1) Realita (1) remaja (3) review buku (2) review film (2) revolusi (1) sejarah (1) seks (2) self-help (1) selligman (1) sintesa (1) sintesis (1) Sosial (4) sosiopat (2) spiritual (3) stalking (1) stereotipe (1) steve jobs (1) stres (1) subjective well-being (1) Tao (2) teknologi (1) Tidur siang (1) tinggi (1) Tips (1) totlol (1) tulisan (1) video (1) vygotsky (1) wajah (1) wanita (1)